Minggu, 31 Mei 2009

Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?

Oleh: Hadisaputra

"Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan,"

Partai Politik. Kata yang sangat sering didengung-dengungkan pasca reformasi. Kadang dengungannya sangat memekakkan telinga. Dalam satu tahun terakhir, huru-hara parpol ini sebenarnya telah mulai ditabuh sejak masa verifikasi parpol di Dephukham dan KPU. Setidaknya ada beragam alasan yang membuat orang masih selalu tertarik untuk membentuk parpol. Ada yang berkeinginan merealisasikan idealisme politik kelompoknya, karena tak pernah terwadahi oleh partai yang pernah ada sebelumnya. Dengan kata, para pendiri Parpol baru itu tak mempercayai lagi Parpol yang sudah ada.
Mungkin ada pula yang memiliki misi bisnis. Artinya, seperti tradisi dalam Pemilu yang sudah berlalu, para petinggi Parpol itu ingin meraup keuntungan finansial baik dari Negara (bantuan Pemerintah terhadap Parpol) maupun para kader simpatisannya (Iuran Kader ataupun sumbangan lainnya). Disamping itu saya juga yakin bahwa ada yang berambisi menjadi "para koruptor" dengan memanfaatkan momen Pemilu yang ada.
Akhirnya Pemilu legislative baru saja usai, Parpol lama dan parpol baru baru saja berjibaku dengan kompetisi yang sangat sengit. Meskipun hasilnya baru bisa diketahui secara resmi Bulan Mei mendatang, setidaknya hasil Quick Count beberapa lembaga survey dan perhitungan sementara KPU menempatkan 9 parpol yang berhasil menuju senayan. Tapi ada fakta yang lebih mencengangkan, yakni kemenangan golput, yang diperkirakan mencapai angka 30%. Orang bisa saja berspekulasi bahwa sebagian besar golput itu adalah golput teknis. Karena DPT sebagian besar bermasalah, ada nama ganda atau telah meninggal dunia. Ataupun karena tidak mendapatkan undangan memilih. Jumlah itu belum termasuk golput yang tidak tercantum dalam DPT.
Hasil Quick Count Lembaga Survey Indonesia menegaskan kemenangan golput atas Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, masing-masing 20,29 %, 14,77 %, dan 14,28 %. Bila golput turut dihitung sebagai suara kontestan Pemilu, maka Partai Demokrat hanya meraih 14 %, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an %. Kemenangan golput ini membuat saya berspekulasi bahwa mungkin saja sebagian besar rakyat Indonesia sudah tak percaya lagi terhadap Partai Politik. Lalu pertanyaan terbersit secara spontan dalam benakku adalah mungkinkah ada negara demokrasi tanpa partai politik?

Fungsi Partai Politik
Sebenarnya kenapa sih harus ada partai politik? Bukankah kalau sekadar berperan sebagai kendaraan politik bagi para caleg, parpol ini terkesan mubazir. Bukankah fakta di lapangan justru menunjukkan mesin politik partai tidak terlalu signifikan perannya dalam meloloskan sang caleg meuju parlemen?
Miriam Budiarjo pernah merumuskan fungsi partai politik sebagai berikut: Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat sesuai dengan norma, nilai dan cita-cita sebuah bangsa. Peran partai diharapkan memupuk identitas dan integritas nasional. Kedua, Komunikasi politik, yaitu melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Partai berperan sebagai corong Negara kepada masayarakat sekaligus corong masyarakat kepada Negara. Sebagai corong masyarakat, setidaknya Partai harus melakukan proses interest aggregation (Penggabungan Kepentingan) dan interest articulation (perumusan kepentingan), setelah itu tugas partai adalah memperjuangkannya kepada pemerintah agar dijadikan Public Policy (Kebijaksanaan Umum).
Ketiga,rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Sehingga partai berperan untuk memperluas partisipasi public dalam kegiatan politik. Sehingga partai turut berperan dalam selection of leadership (Regenerasi kepemimpinan politik). Keempat, parpol sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management). Partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari pengendalian perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok.
Realitas Partai Politik
Sekiranya kita menggunakan pandangan diatas untuk mengukur kiprah partai politik di Indonesia maka kita akan menemukan realitas yang bertolak belakang. Pertama peran Sosialisasi Politik, belakangan lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Politik. Jangankan melakukan pencerdasan politik kepada rakyat, parpol malah melakukan pembodohan politik terhadap rakyat. Mendidik masyarakat untuk memutuskan pilihan-pilihan politiknya dengan pendekatan praktik demokrasi transaksional (money politik) , baik terhadap pemilih, maupun dengan penyelenggara pemilu. Jauh dari instrumen pencerdasan bangsa, malah mengkerdilkan mentalitas anak bangsa. Betapa tidak kita menjadi bangsa inlander (bermental budak), ketika parpol mendidik masyarakat untuk menjadi pengemis. Kehilangan harga diri mereka sebagai pemegang kedaulatan bangsa.
Semakin jauh timba dari sumur manakala kita ingin membincang peran parpol dalam memupuk identitas nasional. Justru kehadiran parpol malah menyuburkan sikap eksklusif dan mengkotak-kotakkan masyarakat dalam identitas-identitas partai. Identitas-identitas simbolik yang kadang mengkhianati visi berbangsa kita.
Kiprah partai politik sebagai instrument komunikasi politik juga tersumbat. Bukannya mengartikulasikan harapan dan kepentingan rakyat kepada Negara, malah mencari celah agar bisa mengartikulasikan kepentingan pragmatis personal elit partai, atau kepentingan sempit kelompok. Belum lagi partai lebih disibukkan dengan konflik-konflik internalnya. Sehingga jangankan memfasilitasi komunikasi rakyat dengan Negara, komunikasi internal partai pun mampat. Jadilah rakyat bingung harus mengadu kemana. Mengadu langsung ke Rumah Rakyat (Kantor DPR), mereka hanya berhadapan dengan birokrasi berbelit dan administratif. Jika mereka menuntut haknya dengan sedikit lantang, maka mereka akan berhadapan dengan pentungan aparat. Mengadu ke partai pun tak bisa. Soalnya Sekretariat Partai biasanya hanya diisi oleh bujang kantor alias penjaga kantor yang terkadang merangkap sebagai cleaning service. Pimpinan Partai kadang sibuk sendiri dengan komunikasi politik oportunis dari café ke café, hotel ke hotel, entah mereka membicarakan tentang apa. Namun yang pasti mereka melakukannya “atas nama rakyat”.
Rekrutmen Politik oleh parpol pun tak berjalan. Departemen Kaderisasi Partai tak sebergairah Badan Pemenangan Pemilu. Kaderisasi di partai-partai seolah sekadar formalitas yang tak berkualitas, itupun masih untung kalau masih ada kaderisasi yang sifatnya formalitas. Wajarlah kalau setiap menjelang Pemilu atau Pilkada seolah Partai seolah berebut tokoh-tokoh masyarakat (lebih tepatnya “tokoh berduit”) untuk dijadikan caleg atau calon kepada daerah. Partai telah gagal memainkan perannya sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin bangsa. Syukurlah masih ada kaderisasi kepemimpinan di tingkat Ormas, Ornop ataupun lembaga kultral masyarakat lainnya. Itu pun sudah sangat terbatas stoknya. Akhirnya secara simplistic criteria calon-calon pemimpin itu disingkat kedalam satu pasal saja, memiliki pundi-pundi rupiah.
“Partai sebagai peredam konflik?” Ini pertanyaan yang bernada ironi. Bukankah realitasnya adalah penyulut konflik di tengah masyarakat justru partai politik. Biasanya sebelum Pemilu/Pilkada ada penandatanganan pernyataan siap menag-siap kalah. Sayangnya setiap partai hanya siap menang, sehingga celah sebesar lubang jarum pun digunakan sebagai godam penyulut konflik. Kasus yang lagi hangat beberapa hari terakhir adalah kisruh DPT. Menarik menyimak Analisis Politik Eep Saifullah Fatah (Kompas/14/04), kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahan membabi buta. Adalah tak bertanggung jawab menyamarkan ketidaksiapan kalah di balik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.
Negara Tanpa Parpol, mungkinkah?
Harus jujur saya akui bahwa saya belum menemukan jalan lain, jalan yang mungkin lebih baik dibanding berdemokrasi dengan kendaraan partai politik. Namun saya sangat yakin bahwa jalan itu pasti ada. Daripada terus ditelikung dengan kejumudan demokrasi warisan. Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan. Saya yakin suatu saat nanti warga negara akan memberikan pilihan kepada negara; “Pilih saya atau parpol?”.

Kalau Anggota DPD, atau calon Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) bisa berasal dari calon independen, kenapa tidak para anggota DPR/DPRD bisa juga berasal dari calon independen. Bahkan saya sangat mengimpikan Parpol digusur dari tatanan proses berdemokrasi kita. Saya sudah sangat muak dengan kepalsuan yang dijajakan parpol. Kalau judul tulisan ini adalah pertanyaan, maka di ujung tulisan ini saya masih ingin menegaskan pertanyaan itu: “Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?”

Tidak ada komentar: