Jumat, 22 Mei 2009

Kekerasan dalam Ujian Nasional

Tahun 2009 ini memang lebih dikenang orang sebagai tahun Pemilu, Hampir setiap mata dan telinga pemerhati bangsa ini mungkin larut mengamati hiruk-pikuk manuver politik para elit pasca pemilu legislative 9 april kemarin. Termasuk membincang tema kekerasan, maka hampir semua pengamat akan memfokuskan pengamatannya pada potensi kekerasan dalam Pemilu. Khususnya kekerasan yang mungkin timbul oleh partai atau caleg yang kalah.

Namun ternyata beberapa hari kedepan bukan cuma detik-detik yang menentukan bagi para caleg. Melainkan juga 3.567.472 siswa SMA/SMK/MA juga akan mengadu keberhasilan belajar mereka selama 3 tahun sejak 20 sampai 24 April 2009. Dengan menggunakan data diatas, paling tidak ada sekitar 3 jutaan korban kekerasan dalam pelaksanaan Ujian tahun 2009, data itu belum termasuk tingkat SMP dan SD serta korban tambahan lainnya. Sebab menurut saya Ujian Nasional adalah bunker kekerasan terhadap siswa. Kenapa saya mengambil kesimpulan tersebut? Saya mencoba menghadirkan John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian dengan Teori Kekerasannya.

Definisi Kekerasan

Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang
terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Tiga bentuk kekerasan

Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"—kekerasan langsung, struktural, dan cultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya. Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara budaya. Sedangkan kekerasan structural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut "Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain. Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi peredaman kekerasan langsung maupun struktural.

Kekerasan Struktural

Dengan menggunakan teori Galtung, saya berkesimpulan bahwa ketiga bentuk kekerasan (Structural Violence, Direct Violence dan Cultural Violence) ini terjadi dalam Ujian Nasional (UN). Dalam kasus UN Kekerasan dimulai dengan kekerasan structural. Negara atas nama standarisasi mutu Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan Ujian Nasional. UN inilah yang menjadi variabel utama penentu kelulusan siswa. Kekerasan structural dapat kita temukan dalam marjinalisasi mata pelajaran non UN. Seolah mata pelajaran tersebut sekadar pengisi waktu dalam dunia sekolah. Siswa yang merasa dirinya lebih berpotensi di bidang Olahraga atau kesenian harus menerima fakta bahwa pelajaran favorit mereka tidak diujikan di Ujian Nasional. Mereka harus belajar ekstra agar dapat menguasai materi-materi pelajaran “emas” UN. Efeknya tentu saja mudah ditebak, potensi unik/kelebihan siswa selain minat pada materi UN akan cenderung tidak diberi ruang.

Disamping itu proses belajar mengajar yang dialektis dan berdimensi nilai terkesan diabaikan. Jadilah sekolah sekadar menjadi lembaga bimbingan belajar untuk mengikuti Ujian Nasional. Proses Belajar dibuat lebih instan dan terfokus pada kemampuan menjawab soal-soal yang sering muncul dalam UN.

Guru pun tetntu saja akan menjadi korban kekerasan structural ini. Guru kehilangan perannya sebagai pendidik. Mereka harus mampu berakselerasi dengan system yang dibuat oleh Pemerintah. Tak ada lagi istilah mengajar secara kreatif dan imajinatif di depan siswa. Inovasi mengajar para guru dibonsai atas nama program “Sukses UN”. Ceramah tentang moral dan etika menjadi tidak relevan lagi, sebab indicator kesuksesan anak selama 3 tahun ditentukan oleh kemamuan menjawab soal. Daripada membuang waktu percuma, para guru pun berlomba untuk mensabdakan soal-soal Ujian yang sering muncul di UN.

Hal yang lebih memilukan terkait dengan fenomena Ujian Nasional tahun lalu, ketika beberapa orang guru harus berurusan dengan polisi karena dituduh membocorkan soal Ujian Nasional. Meski tindakan ini bukanlah tindakan terpuji, setidaknya hal itu mereka lakukan atas nama sikap “keorangtuaan” yang tidak ingin melihat anak didik mereka gamang menatap masa depan. Tidakkah ini menjadi bukti cukup bahwa korban kekerasan bukan cuma para siswa, bapak dan ibu “pahlawan tanpa tanda jasa” pun harus jadi korban tragedy Ujian Nasional.

Padahal pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Hal itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat. Ki Hajar Dewantara dulu pernah mewasiatkan agar pendidikan berorientasi menumbuhkan mentalitas merdeka bagi anak bangsa. Bukan mentalitas kuli pasar sebagaimana dianut oleh dunia pendidikan nasional hari ini.

Sehingga ketika membincang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh ujian nasional melainkan terletak pada paradigma pendidikan yang kita anut. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Betapa absurdnya mengukur keberhasilan pendidikan nasional dengan instrument Ujian Nasional.

Kekerasan Langsung

Kekerasan langsung (Direct Violence) terjadi pada siswa peserta Ujian Nasional. Kekerasan diawali dengan persiapan super ekstra yang menyita energy dan waktu dalam menghadapi Ujian Nasional. Betapa tidak, proses belajar di kelas yang semakin diporsir dengan jam pelajaran tambahan. Belum lagi bagi mereka yang berkocek tebal merasa wajib hukumnya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah. Di rumah, orang tua mereka pasti juga ingin terlibat menjadi mandor pengawas apakah sang anak belajar atau tidak. Di usia yang sangat belia mereka telah menjadi korban kekerasan berlapis.

Kekerasan langsung dapat pula berbentuk teror mental yang sering diulang-ulang dalam setiap petuah pembina upacara ataupun walikelas tentang “monster” standar nilai rata-rata minimal kelulusan dalam Ujian Nasional, yang sekarang sudah mencapai 5,5. Nilai meningkat dari standar kelulusan tahun lalu yang mempersyaratkan nilai rata-rata minimal 5,25. Fase kekerasan selanjutnya adalah pasca pelaksanaan Ujian Nasional. Apalagi jika terdapat siswa yang tidak lulus, bisa saja ada di anatara siswa yang mengalami goncangan jiwa yang berat. Seolah mereka tak punya masa depan lagi, sebagaimana propaganda yang sering mereka dapatkan di sekolah ataupun di Bimbingan Belajar.

Kekerasan Kultural

Bentuk kekerasan ketiga adalah kekerasan kultural. Bentuk kekerasan ini dapat berupa keterlibatan semua orang untuk menciptakan atmosfer yang menakut-nakuti siswa untuk senantiasa mempersiapkan pelaksanaan Ujian Nasional. Secara tidak sadar masyarakat juga mereproduksi ketakutan ini kea lam bawah sadar mereka. Mereka telah menjadi agen spionase Negara untuk memancung siswa yang dianggap malas/santai menghadapi monster Ujian Nasional. Petuah-petuah “Hati-hatiko belajar nak, kalau tidak lulusko rusak masa depanmu” tidak hanya diucap oleh Bapak-Ibu Guru di sekolah tapi juga oleh Kakek-Nenek di Kampung. Manakala kita turut membenarkan dan turut mereproduksi ketakutan terhadap Ujian Nasional berarti kita turut serta menyuburkan kekerasan Kultural.

Penutup

Sikap pemerintah yang bebal terhadap kritik semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional.
Para birokrat pendidikan, teknisi, dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat, walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak pernah berkaca pada setiap kegagalan yang direproduksi berulang-ulang. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian kecil siswa yang menerima kalungan medali emas olimpiade. Tetapi, mereka tidak peduli terhadap berbagai akibat kesalahan paradigma ini.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kisah Jalaluddin Rumi yang dituturkan Miftah Rahmat dalam pengantar “Road to Allah”. Kisah itu menceritakan perjuangan burung kecil yang berusaha memadamkan api Namrud yang membakar Ibrahim. Dengan paruhnya yang mungil ia terbang ke samudera, mengambil air, menyimpannya dan berusaha menjatuhkannya dari tempat yang sangat tinggi, berharap bisa memadamkan api Namrud. Seluruh binatang dan tumbuhan menertawakannya. “Bagaimana mungkin paruh yang kecil itu dapat mngeambil air untuk dapat memadamkan api Namrud?” mendengar ini burung kecil itu menjawab, “aku tahu aku tidak akan pernah bisa memadamkan api namrud, tapi aku ingin Allah Ta’ala mencatat aku sebagai makhluk yang pernah berusaha untuk memadamkannya”. Selama mata, telinga dan hati penguasa masih tertutup untuk menerima kebenaran ini, maka suara ini tidak boleh berhenti dikumandangkan.

Tidak ada komentar: