Senin, 08 Februari 2010

Mahasiswa Melawan Kekerasan

(Catatan dari Silatwil BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Timur)

“Ksatria!” Itulah kata yang kurang lebih bisa menggambarkan sikap Mahasiswa Muhammadiyah, dalam Silatwil BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia Timur, yang dilaksanakan tanggal 01-04 Februari di Universitas Muhammadiyah Parepare. Betapa tidak, ditengah keteladalan berapologi, sebagaimana dipertontonkan elit politik nasional dan lokal, BEM PTM se-Intim dengan nalar obyektif justru membincang sebuah tema yang terkesan membuka ‘aib’ sendiri. “Kekerasan Mahasiswa”, tema ini diulas menjadi salah satu topik dalam perhelatan akbar tersebut.

Membincang kekerasan, John Galtung adalah salah satu tokoh yang teori-teorinya cukup bisa membantu dalam mengulas fenomena tersebut. Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.

Jadi sebenarnya kekerasan bukan hanya soal memukul, melukai, menganiaya, sampai membunuh, tapi lebih luas dari itu. Misalnya, Negara yang menelantarkan rakyatnya sehingga banyak yang menderita kelaparan sampai mati, itu juga kekerasan. Negara membuat kebijakan Ujian Nasional, yang membuat siswa merasa diteror mentalnya, juga bisa disebut kekerasan.

Mengingat begitu luasnya spektrum perbincangan tentang kekerasan, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, “kekerasan mahasiswa” dalam tulisan ini sekadar membahas tentang fenomena tawuran mahasiswa. Uraian bentuk-bentuk kekerasan lainnya, akan diulas pada tulisan yang lain.

Tawuran Mahasiswa

Dalam pandangan penulis, tawuran mahasiswa bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yakni: Pertama, Pertarungan Identitas. Dalam konteks tawuran mahasiswa, belakangan ini identitas yang menguat adalah identitas kedaerahan (suku), fakultas/jurusan dan organisasi/komunitas. Identitas adalah pisau yang bermata ganda. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.

John Naisbit pernah memperkenalkan istilah “Global Paradox” dalam membaca arus globalisasi. “Ketika dunia berpadu secara ekonomi, bagian-bagian komponennya menjadi lebih banyak dan lebih kecil dan lebih penting. Secara serentak, ekonomi global berkembang sementara ukuran bagian-bagiannya menyusut” kata Naisbitt.

Betapa tidak, ditengah arus globalisme tersebut, orang justru kembali kepada identitas-identitas primordialnya. Pergaulan global justru membuat orang berupaya untuk menemukan identitas yang paling unik dari diri mereka. Ketika kita telah memasuki era gobalisasi, justru kecendrungan menguatnya etnisitas juga semakin menguat. Fenomena menjamurnya organisasi mahasiswa daerah (organda) bisa dilihat dalam perspektif ini. Kita bisa bergaul dengan orang dari seantero dunia, namun di satu sisi kita rindu untuk melekatkan diri pada payung identitas etnik.

Kedua, mahasiswa sebagai kelompok middle class yang sering menasbihkan diri sebagi agent of change mengalami disorientasi pascareformasi. Mahasiswa gagal mengidentifikasi ‘musuh bersama’ (common enemy). Setelah Soeharto ditumbangkan, rezim kekuasaan dengan wajah garang dan represif praktis lenyap. Kebebasan berpendapat memungkinkan unsur-unsur masyarakat menyuarakan aspirasi. Jangan-jangan, tanpa represi politik ala Soeharto, tanpa kekuasaan hegemonik model Soekarno, atau tanpa kekangan diktatorial fasis maupun kolonial, gerakan mahasiswa malah tidak berdaya.

Amin Maalouf dalam “In the Name of Identity” menegaskan, bahwa dari sekian banyak identitas yang melekat pada diri kita, kita cenderung menggunakan identitas yang paling terancam eksistensinya. Penguasa otoritarian dan represif, membuat mahasiswa dalam identitas ‘agent of change’ menyatu untuk melakukan perlawanan. Ketika kran demokratisasi terbuka, akhirnya mahasisa kembali ke barak-barak identitas primordial dan eksklusifitas kelompok.

Ketiga, kekerasan struktural. Istilah ini diperkenalkan oleh John Galtung. Para penganut genre “Kesadaran Kritis” sering menggunakan argumentasi ini dalam membedah berbagai fenomena termasuk tawuran mahasiswa. Jenis kekerasan ini hanya dapat ditemukan kalau orang melihat situasi secara menyeluruh dan mencari unsur-unsur ketimpangan, ketidakadilan, represi dan seterusnya. Dalam situasi seperti itu, kita tidak mudah menemukan pelaku atau penyebabnya. Inilah yang disebut dengan kekerasan struktural, karena kita mengalamatkan situasi ini pada sistem atau strukturnya yang jelek.

Kekerasan struktural ini dapat berupa transformasi dalam kehidupan masyarakat yang begitu cepat. Yasraf amir Piliang malah tidak lagi menyebutnya dengan istilah kecepatan, tapi percepatan. Gerak zaman yang tak lagi terkendali oleh sang empu, manusia. Sebutlah proses modernisasi dan globalisasi yang membuat masyarakat kita dalam kondisi tegang terus menerus. Franz Magnis Suseno menyebut bahwa proses transformasi budaya dari masyarakat tradisional ke pascatradisional dengan sendirinya menciptakan disorientasi, dislokasi, disfungsionalisasi yang terasa sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politis.

Saya ingin memberi contoh sederhana, ketegangan yang berupa ketidakpastian masa depan mengakibatkan banyak orang tua yang memaksakan anaknya kuliah di jurusan yang digandrungi pasar, meskipun sebenarnya sang anak tidak begitu “enjoy” malah membenci jurusan yang dipilihkan orang tuanya. Ketidakpastian masa depan bagi mereka akan semakin menjadi-jadi manakala “janji-janji manis” kepastian kerja tidak mereka lihat pada senior-senior yang lebih dulu meninggalkan dunia kampus. Malah mereka terkadang harus tersenyum miris melihat para senior berjubel membawa map lamaran kerja kesana kemari. Atau mendengarkan kisah-kisah “hitam” (baca: keculasan sistemik) dalam rekrutmen PNS; sebuah cita-cita yang dititipkan emak dari kampung.

Jadilah mereka generasi frustrasi, generasi split, antara imaji ideal yang ada dalam benaknya dengan kehidupan real yang harus mereka hadapi. Ketegangan yang melahirkan frustrasi bahkan depresi tersebut, memperoleh ruang katarsis lewat prosesi tawuran. Sehingga tawuran mahasiswa dalam perspektif ini dimaknai sebagai efek domino dari kekerasan struktural.

Keempat, rekayasa (provokasi) dari pihak “berkepentingan”. Tentu saja untuk mengendus pihak “berkepentingan” ini tidak mudah. Serumit melacak pelaku kentut, baunya bisa sangat terasa, tapi terkadang susah mengidentifikasi pelakunya. Pelakunya bisa penguasa yang tidak ingin energi kritis mahasiswa tersalurkan untuk merusak tatanan keculasan yang telah dibangunnya. Pelakunya juga bisa dari kelompok oposisi terhadap birokrat kampus, yang ingin melakukan “character assasination” terhadap pimpinan yang sedang menjabat. Bisa juga rekayasa dari teman-teman mahasiswa sendiri yang ingin menumpangkan motif dendam pribadinya melalui kerusuhan komunal.

Namun dalam pendekatan rekayasa (provokasi) ini, saya lebih condong melihat bahwa yang disebut “berkepentingan” tersebut adalah pihak yang ingin meredam nalar kritis mahasiswa. Tapi mengapa mahasiswa begitu mudah terprovokasi? Berarti ada kekerasan laten yang hadir di tengah mahasiswa yang bisa disulut kapan saja. Itulah yang dsebut Maalouf dengan “pertarungan atas nama identitas” atau mengkristalnya tribalisme dalam terma ‘Global Paradox’ Naisbit.

Akhirnya tulisan ini juga tidak bermaksud memberikan solusi yang simplistic untuk sebuah persoalan yang cukup sophisticated. Namun saya percaya, keberanian teman-teman BEM PTM mengangkat tema “kekerasan mahasiswa” adalah sebuah ikhtiar untuk memutus mata rantai kekerasan. Ingin kututup tulisan ini dengan mengutip doa Mahatma Gandhi untuk semua umat manusia; “Penganut anti kekerasan secara otomatis akan menjadi abdi-abdi Tuhan. Penganut anti-kekerasan harus siap mengabdi kepada Tuhan dalam setiap detik kehidupannya. Semoga engkau semua menjadi abdi Tuhan yang sejati dan menjadi aktivias anti kekerasan sejati”. ***

Kamis, 24 Desember 2009

Refleksi 1 Abad Gerakan Muhammadiyah: MEMAHAT BATU NISAN UNTUK MUHAMMADIYAH

Genap seabad usia Persyarikatan Muhammadiyah. 5 Dzulhiijah 1330, sang sosok “manusia besar” (Great Individual), Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi islam modern terbesar di dunia saat ini. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught).
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam seabad usianya telah banyak mendirikan taman kanak-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global.
Seabad, umur yang cukup uzur bagi sebuah organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah. Jika kita melakukan personifikasi, maka Muhammadiyah sesungguhnya telah mendapat diskon lebih 37 tahun dari umur Nabi Muhammad SAW. Adakah umur yang renta tersebut membuat Muhammadiyah seperti gajah bengkak, gerakan yang sangat besar, namun memiliki penyakit kronis. Penyakit yang sebentar lagi akan membuatnya meregang nyawa. Apakah itu berarti kita harus segera memahatkan batu nisan untuk menyambut kematiannya?
Tentu saja sebagai kader Muhammadiyah, penulis masih memiliki optimisme bahwa Muhammadiyah masih bisa menyongsong abad kedua dengan penuh antusiasme dan progresifitas. Oleh karena itu potongan gagasan berikut semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kesembuhan Muhammadiyah.
Penulis ingin menuliskan mozaik gagasan ini dalam kerangka “TBC”. Sebuah jargon dakwah yang cukup populis di Muhammadiyah. TBC ini bukan Tuberculosis/Tuberkulosa alias penyakit paru-paru yang disebabkan oleh bakteri. TBC yang Muhammadiyah maksudkan adalah Takhayul, Bid'ah dan Churafat.
Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada asal usulnya. Misalnya saja, membuat bangunan/jembatan, jika tidak ditanam kepala kerbau maka bangunan tersebut bisa runtuh. Bid'ah adalah praktek keagamaan yang diada-adakan yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Contohnya banyak sekali, diantaranya adalah; Tahlilan atau selamatan kematian, prakteknya meniru kebiasaan orang Hindu. Churafat/Khurafat adalah cerita mengenai sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya namun melegenda. Misalnya saja; kepercayaan kepada cincin yang telah di “baca-bacai” sehingga cincin itu menjadi sumber berkah.
Dalam konteks tulisan ini, penulis ingin memberikan “makna lain” tentang TBC. Bukan dalam terma ilmu kesehatan ataupun terma yang telah populis di Muhammadiyah. TBC yang saya maksudkan tetap merupakan kepanjangan dari Takhayul, Bid’ah dan Churafat. Takhayul dimaknai sebagai kemampuan melampaui kelaziman. Atau sebutlah takhayul itu berarti imajinatif. Sesuatu yang menggugah dan mencerahkan. Sedangkan bid’ah dimaknai sebagai kreatifitas. Khurafat, diterjemahkan kedalam pemaknaan: kemampuan memberi makna terhadap realitas.

Takhayul
Muhammadiyah sebagai “gerakan takhayul” (baca: imajinatif) berarti gerakan ini memiliki gagasan-gagasan yang imajinatif untuk dalam ranah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Setidaknya ada beberapa gagasan yang harus dituntaskan oleh Muhammadiyah jika ingin disebut sebagai gerakan penyuluh zaman.
Pertama, terma “Ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” yang sering menjadi jurus andalan Muhammadiyah perlu diberikan tafsiran penjelas. Masalahnya hampir semua gerakan Islam juga mengklaim Quran dan Hadits sebagai rujukan. Meskipun penafsirannya akan beragam.
Muhammadiyah tidak akan memiliki pembeda kalau juga terjebak kedalam jurus-jurus apologetif semacam ini. Meminjam istilah Kang Jalal, jangan-jangan Muhammadiyah terjebak kedalam fallacies of misplaced concreteness (menjelaskan sesuatu yang abstrak dengan penjelasan abstrak). Solusinya adalah Muhammadiyah perlu membuat risalah Islam komprehensif dalam pahaman Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak lagi cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas persoalan dunia. Spirit “ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” perlu dimaknai sebagai sebuah komitmen Muhammadiyah untuk menggali nilai-nilai (menafsir) Quran dan Hadits untuk menjawab problem kemanusiaan dan peradaban. Dalam menyelami persoalan masyarakat, tentu saja Muhammadiyah mau tak mau harus merujuk pada “koran wa hard disk” (Baca: Media Massa dan internet).
Kedua, bagaimana gagasan Muhammadiyah tentang Indonesia. Spanduk besar yang terpampang di depan Pusat Dakwah Muhammadiyah Tamalanrea bertuliskan “Ketika orang baru belajar tentang Indonesia, jutaan orang telah mengenal Muhammadiyah”, menjadi bukti bahwa Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang turut mendeklarasikan lahirnya Republik Indonesia. Alangkah naifnya, jika masih ada orang Muhammadiyah yang memperhadap-hadapkan antara keislaman dan keindonesiaannya. Menjadi orang Muhammadiyah berarti menghirup keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas. Indonesia adalah produk objektifikasi Islam terbesar di abad ke-20.
Menarik konsep “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” yang digagas oleh Muhammadiyah. Namun konsep tersebut tidak boleh berhenti sekadar sebuah teks beku yang tidak berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Gagasan tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut sampai tingkat metodologi praksis. Hadirnya gagasan tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Siapa saja yang bercita-cita merongrong Indonesia, berarti harus berhadapan dengan Muhammadiyah.
Ketiga, gagasan tentang Globalisasi. Dalam “pernyataan pikiran jelang 1 abad”, Muhammadiyah memandang bahwa globalisasi telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Sayangnya konsep tersebut masih belum bisa memberi jawaban bagaimana peran yang harusnya dimainkan Muhammadiyah dalam merespon fenomena tersebut.

Bidah
Kalau takhayul bergerak pada imajinasi gagasan, maka “Bid’ah” bergerak dalam ranah kreatifitas manajemen gerakan. Dalam Talk-Show di TVOne, Rachlan aktivis IMPARSIAL, mengkritik Amien Rais dan Din Syamsuddin. Mereka dianggap pendatang baru dalam dunia pemberantasan korupsi. Memang waktu itu Din berhasil menjelaskan kiprahnya bersama Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi.
Namun ada satu hal yang terbetik dalam benak saya. Apakah Muhammadiyah hanya terlibat dalam seruan-seruan moral semata dalam pemberantasan korupsi? Tidak adakah Majelis atau lembaga yang bisa ditugasi khusus untuk melakukan kerja-kerja advokasi kasus korupsi? Kenapa Muhammadiyah tidak bisa bergerak seprogresif ICW dalam isu korupsi, WALHI dalam isu lingkungan atau LBH dalam ranah hukum?
Muhammadiyah belum terlambat untuk memanfaatkan jaringan dan organ-organnya untuk mengadopsi model organisasi New Social Movement. Memang sudah ada lembaga-lembaga berbasis isu, namun lembaga itu seolah bukan jiwa dan ruh persyarikatan Muhammadiyah. Pada domain inilah integrasi antara Matan Keyakinan Muhammadiyah dengan isu-isu aktual layak diberi perhatian serius oleh para pimpinan gerakan.
Disamping model new social movement tersebut, model virtual movement juga layak dipertimbangkan sebagai wujud artikulasi gerakan. Keberhasilan gerakan facebooker dalam menggalang lebih dari sejuta dukungan untuk menolak kriminalisasi KPK, ataupun inisiasi para blogger dalam gerakan “koin untuk Prita” membuat virtual movement ini juga harus dijadikan kiblat model gerakan sosial.
Ranah New parliamentary Movement (Gerakan Parlementer Baru) juga belum digarap Muhammadiyah secara serius. Tatkala bicara tentang Politik, Muhammadiyah sekadar bicara pada isu-isu moral politik, tapi masih gagal menjadi inspirator visi bagi para politisi. Tersebarnya kader-kader Muhammadiayh sebagai politisi di berbagai partai politik masih sekadar dilihat sebagai lumbung dana. Belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengagregasikan visi kebangsaan Muhammadiyah dalam ranah kebijakan publik.
Ada model gerakan klasik yang semakin ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah, yakni entrepreneurship movement (Gerakan Kewirausahaan). Kyai Dahlan dulu mendakwahkan Islam sambil menjajakan batik, kini kader Muhammadiyah mendakwahkan Islam sambil menjajakan “Proposal Kegiatan”. Belum lagi letak strategis model gerakan ini jika dikaitkan dengan analisis “The Ruling Elite” Anies Baswedan, bahwa dua-tiga dekade kedepan the ruling elite bangsa ini akan berasal dari kaum entrepreneur. Maukah Muhammadiyah menjadi penonton di pinggiran jalan raya sejarah? Menonton bangsa yang dibidaninya dibesarkan tanpa menghiraukan nilai-nilai dan visi yang dianutnya.
Churafat
Muhammadiyah sebagai Churafat dimaknai sebagai kemampuan persyarikatan untuk memberi makna (berkah/maslahat) terhadap orang banyak. Gerakan Islam ini harus menjawab apa makna bermuhammadiyah bagi kader dan anggota Muhammdiyah. Ustadz Alwi Uddin, sekretaris Muhammadiyah Sulsel pernah berkelakar dalam sebuah diskusi, “bermuhammadiyah berarti mempunyai peluang untuk menjadi pengelola di amal usaha Muhammadiyah atau dosen yayasan di perguruan tinggi Muhammadiyah.” Tentu saja jawaban diatas sekadar jawaban ironi untuk mencari jawaban-jawaban yang lebih intrinsik.
Disamping itu, Muhammadiyah harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar makna kehidupan dari berbagai lapisan masyarakat. Apakah ritual-ritual milad, pengajian, khotbah-khotbah dai Muhammadiyah bisakah mencerahkan nalar sekaligus menentramkan batin? Bisakah Muhammadiyah menggantikan peran Inul Daratista sebagai pelipur lara beban hidup kaum papa? Bisakah Muhammadiyah menjadi pembakar semangat juang dan pengusir kegundahan anak muda fari kegelisahan akan identitasnya? Mampukah pengajian-pengajian Muhammadiyah/Aisyiyah memberikan kesejukan bagi kaum ibu yang semakin sering cemberut dengan harga kebutuhan rumah tangga yang semakin melambung?

Akhirnya, Selamat Ulang Tahun Seabad Muhammadiyah. Ingin kututup tulisan ini dengan mengutip torehan pesan yang terpajang di dinding Pusdiklat Angkatan Muda Muhammadiyah (Lompobattang 201): “Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan Muhammadiyah? Yakni orang-orang yang menghardik angkatan muda muhammadiyah, menggerogoti amal usaha muhammadiyah serta tidak peduli dengan prahara kemanusiaan, kebangsaan dan keummatan”. Wallahu A’lam

Ucapan Selamat Natal Dalam Al-Quran

Hampir setiap Desember, puluhan spanduk ucapan Selamat Hari Natal terpampang di jalan-jalan protokol, gedung-gedung perkantoran maupun pusat-pusat perbelanjaan. Tampaknya negeri yang sebagian besar penduduknya beragama Islam ini, ikut merasakan kebahagiaan dengan peringatan kelahiran (Natal) Isa Al-Masih (Jesus). Semoga saja spanduk tersebut berbanding lurus dengan penghayatan pesan-pesan kasih dan damai yang dibawa oleh Putera Maryam tersebut.

Sayangnya masih terdengar sayup-sayup gugatan terhadap ucapan selamat tersebut dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Seolah dengan mengucapkan ucapan tersebut sebagai orang Islam kita terancam kafir bahkan musyrik. Ada pula seorang sahabat yang mengatakan bahwa ucapan di ruang-ruang public tersebut tak lebih sekadar tuntutan sosial, tak berkorelasi dengan pandangan keagamaan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam?

Natal dalam Al-Qur’an

Dalam pemahaman Islam saya yang awam, saya heran kalau masih ada orang Islam yang mengharamkan ucapan selamat Natal. Kalau alasan yang digunakan adalah kerusakan aqidah, lalu bagaimana dengan rukun Iman yang keempat; Iman Kepada Rasul-rasul Allah? Bukankah salah satu dari Rasul tersebut adalah Isa Al-Masih?

Saya juga ingin mengutip ayat yang dirujuk Zuhairi Misrawi, alumni Universitas al-Azhar Kairo, Mesir dalam Kitab “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme”. Cendekiawan Muda NU tersebut ini merujuk pada Q.S. Maryam 33-34: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku hidup dibangkitkan kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mana mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.

Dalam kasus mengucapkan Selamat Natal, Alquran lebih unik dan lebih lengkap dalam memberikan ucapan selamat. Jika Natal berarti hanya merayakan kelahiran Nabi Isa, Alquran justru memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali.

Menurut Imam al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, terdapat beberapa makna dalam pesan mengucapkan Selamat Natal tersebut. Pertama, sebagai jawaban atas mereka yang menuduh Bunda Maria melahirkan Isa dari hasil perzinahan. Artinya, Tuhan memberikan salam kepada Nabi Isa karena sesungguhnya ia adalah utusan Tuhan yang dilahirkan dari rahim kesucian bundanya. Masih menurut al-Razi, ucapan selamat itu sebagai doa agar ia diberi rasa aman dan nyaman, baik ketika di dunia, alam barzakh maupun di akhirat.

Alangkah ironisnya jika ada orang Islam yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, padahal Tuhan sendiri mengucapkan Selamat Natal sebagai sebuah penghargaan atas pengabdian Isa al-Masih bagi pelayanan kemanusiaan. Apatah lagi fenomena ucapan Selamat Natal sebenarnya merupakan praktek atau tradisi keagamaan yang sudah berkembang lama sekali, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya seperti Mesir. Misalnya sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Beliau memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana (Satrawi dalam Opini Kompas 19/12/2009).

Dengan memberi bingkai teologis terhadap ucapan Selamat Natal, setidaknya hal tersebut akan memberikan beberapa implikasi: Pertama, secara psikologis akan menghindarkan ummat dari split personality. Saya menyebutnya split karena selama ini ucapan selamat natal sering diucapkan oleh ummat Islam, tapi dalam bingkai profesionalisme, karena kapasitas mereka sebagai birokrat, atau karena kapasitas sebagai pengusaha yang memberikan ucapan selamat terhadap klien/pelanggan. Ucapan selamat Natal sekadar manis di bibir namun tak menghunjam dalam ketulusan hati karena tersangkut dengan pandangan keagamaan yang selama ini mereka dapatkan. Sehingga dengan memberikan pandangan keagamaan yang inklusif, akan menghadirkan ummat yang konsisten antara keyakinan, kata dan laku.

Kedua, secara sosiologis ini legitimasi teologis terhadap ucapan selamat Natal akan membangun harmoni social dan mencegah konflik. Pernah suatu ketika Muadz Bin Jabal hendak diutus ke Yaman, pesan pertama Nabi adalah agar berdakwah dengan senyuman dan membahagiakan orang lain. Dengan demikian, ucapan kebahagiaan merupakan ucapan yang semestinya dijadikan sebagai tali pengikat untuk membangun keharmonisan.

Memberikan legitimasi terhadap ucapan selamat Natal merupakan sebuah langkah preventif terhadap konflik. Bukankah konflik itu lahir karena metode kita dalam merumuskan identitas adalah dengan menegasikan yang lain? Identifikasi "kita" dan "mereka", dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri "kita", disucikan dan makin disucikan, sedangkan kelompok lain, "mereka" dilecehkan, bahkan dapat berkembang kepada pemberian legitimasi penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam "perjuangan suci" melawan kelompok lain, kelompok "mereka" atau sebaliknya.

Pluralisme Agama

Mengucapkan Selamat Natal merupakan jalan menuju impian yang lebih tinggi: pengakuan terhadap pluralisme agama. Dengan mengutip Prof. Diana L. Eck, Direktur the Pluralism Project di Harvard University, pluralisme setidaknya memiliki tiga makna:

Pertama, Pluralisme adalah keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sebenarnya mengajak kita untuk lebih dari sekadar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan bersama. Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Pluralisme adalah sebuah upaya memahami yang lain melalui pemahaman yang onstruktif. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.

Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Setiap agama mempunyai komitmen masing-masing. Namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan.

Jadi pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama. Pluralisme adalah paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dan komitmen bersama untuk kemanusiaan. Pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang
dimaksud, berarti hal tersebut telah menyalahi kodrat.

Pengertian pluralisme diatas ditegaskan oleh Al-Quran surat Al-Baqarah 148 dan Al-Maidah 48. Dalam surat Al-Baqarah 148 Allah berfirman; "dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...". Dalam surat Al Maidah 48 "...sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan...". Selain itu terdapat ayat-ayat lain yang dapat ditafsirkan mendukung adanya pengertian Pluralisme dalam Al Quran, yaitu Q.S.11:118, 16:93, 42:8 dan 49:13. Penjelasan terhadap ayat-ayat diatas dapat ditemukan dalam Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah (2000).

Akhirnya Selamat Hari Raya Natal 2009. Semoga kita makin dewasa dalam merangkai perbedaan menuju damai-sejahtera, Amien.***

Senin, 16 November 2009

BUBARKAN KPK!!!

Muak! Bosan! Mual! Betapa tidak, pagi, siang, malam, bangun dan jelang tidur aku diberondong berita seputar kisruh “Cicak versus Buaya”. Begitu Televisi dinyalakan berita-berita itu langsung memekakkan telingaku. Channel TV kupindahkan, sejenak dapat kunikmati film kartun, atau lantunan suara penyanyi kegemaranku. Tak lama kemudian, berita “sekilas” muncul lagi. Masih dengan kisah pertarungan “makhluk melata”. Gerah, kumatikan televisiku.

Kurengkuh bantalku, tak lama aku pun terpejam. Berenang di lautan kapuk. Berita seputar korupsi menggenangi alam bawah sadarku. Aku bertemu dengan seorang koruptor. Koruptor itu sedang berorasi meyampaikan Pledoi para koruptor Indonesia dengan judul “Koruptor Menggugat”. Berikut petikan orasinya:

Koruptor Menggugat

Kami para koruptor Indonesia dengan ini menyatakan kemuakan terhadap hipokrisi yang dianut oleh orang-orang di negeri ini. Ijinkan kami menyampaikan sejumlah alasan, kenapa kami memilih “Koruptor” sebagai jalan hidup.

Pertama, kami korupsi karena kami manusia. Manusia memang diciptakan dengan kecenderungan keserakahan, tidak pernah puas dan punya naluri untuk mempertahankan hidup. Kami bukan robot, karenanya kami tidak bisa diprogram untuk sekadar mengikuti aturan yang dititahkan oleh Undang-undang, Peraturan Pemeritah atau apapun istilahnya. Kami tidak ingin mengingkari potensi kemanusiaan tersebut. Pendapat kami juga dudukung oleh ahli falsafah Cina, Xun Zi (310-237 SM) yang berkata: “Manusia itu bersifat jahat. Manusia yang baik adalah palsu kerana ia bertentangan dengan nalurinya yang paling asal.”

Kedua, korupsi adalah karakter bangsa kita. Bung Hatta, tokoh kemerdekaan, di tahun 1950-an berkesimpulan korupsi adalah soal kebudayaan. Maksudnya, karena soal sogok, suap, dan upeti sudah lazim dikenal dari zaman baheula (Subangun, Kompas 07/10/2009). Dengarkan pula senandung ceramah budaya berjudul “Manusia Indonesia” yang dilisankan oleh Mochtar Lubis pada tahun 1977 dan dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia” oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001. Menurut Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia adalah tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Kami hanyalah anak bangsa yang mewarisi mentalitas tersebut. Salahkah kami jika kami ingin ber-Indonesia secara kaffah (menyeluruh)?

Ketiga, korupsi adalah jalan paling ampuh untuk memutus rantai birokrasi. Salah satu syarat terwujudnya Good Governance adalah adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat. Bagaimana bisa peka dan responsif kalau rantai birokrasinya cukup panjang? Jusuf Kalla pada malam penganugerahan Birokrasi Award 2008 yang diadakan Institut Reformasi Birokrasi Indo Pos-Jawa Pos Group di Jakarta (11/9/2008) pernah bertutur "Pegawai kita kelewat banyak. Satu Dirjen punya lima direktur, satu direktur punya lima Kasi (kepala seksi). Jadi, satu surat harus naik-turun, lewat banyak meja, baru ada keputusan."

Ijinkan kami memaparkan contoh-contoh keseharian kita. Bisakah anda bayangkan bagaimana ribetnya hari-hari anda kalau tidak ada istilah “uang damai” pada saat anda kena tilang? Atau bisakah anda memenangkan tender proyek kalau tidak pakai uang pelicin? Sabarkah anda menanti pembuatan sertifikat tanah tanpa “plus plus” selama setahun? Soal birokrasi KTP atau SIM, mungkin anda lebih tahu. Tentu contoh lainnya anda bisa cari sendiri.

Keempat, korupsi merekatkan hubungan kekeluargaan. Sejak kami jadi koruptor kami bisa berbuat lebih banyak untuk keluarga dan handai taulan. Kami bisa memberi bantuan kepada keluarga yang membutuhkan. Omongan kami juga lebih didengar oleh keluarga. Pokoknya kami dijadikan “kantong ajaib Doraemon” bagi keluarga. Biarlah pakar anti korupsi menyitir istilah Edward Banfield, ‘amoral familsm’ untuk spirit kekeluargaan yang kami bangun. Yang pasti kami bisa merasakan kebermaknaan dengan berbuat bagi keluarga dan sanak saudara kami.



Ekspor Koruptor

Kelima, koruptor sebenarnya bisa jadi asset produktif bagi Negara. Daripada sibuk menghujat kami dengan sabda-sabda moral, lebih baik manfaatkan kami untuk menghasilkan devisa negara. Ekspor kami ke luar negeri. Sebab kami telah menunjukkan profesionalisme di dalam negeri. Coba anda bayangkan, betapa ketatnya pengawasan, berlapis-lapisnya aturan tetang korupsi, toh kami tetap berhasil menjebol. Beri kami peluang keluar negeri. Kalau perlu kirim kami ke Negara yang banyak asset kekayaannya dan ketat aturannya. Ya paling tidak kami bisa membantu para TKI sebagai pahlawn devisa bagi negara. Ya ide ini juga kami pinjam dari Budayawan Radhar Panca Dahana dalam “Inikah Kita? Mozaik Manusia Indonesia”.

Keenam, koruptor itu pasti masuk surga. Coba hitunglah tempat-tempat ibadah yang megah di negeri ini, disana pasti kami pernah menanam saham. Bukankah itu amal jariyah bagi kami? Banyak pemuka-pemuka agama malah sering mendoakan kami karena kami rajin menyumbang bahkan menjadi donatur di tempat ibadah atau lembaga pendidikan keagamaan yang mereka kelola. Bukankah para pemuka agama itu dekat dengan Tuhan? Belum lagi doa orang-orang miskin dan anak jalanan yang sering kami santuni. Bukankah doa mereka mudah diijabah oleh Allah SWT? Ah senangnya jadi koruptor, di dunia senang, di akhirat senang. Kiat sukses dunia akhirat bagi kami adalah dengan korupsi 1 Milyar, menyumbang 100 juta.

Ketujuh, dengan jadi koruptor justru kami makin ditokohkan ditengah-tengah masyarakat. Bukankah materialisme telah mnjadi pandangan hidup yang dominan di tengah masyarakat kita? Bukankah parameter seseorang didengar dan digugu bukan lagi karena tigginya kearifan dan kedalaman ilmunya, melainkan seberapa melimpah harta yang ia miliki?

Terkait dengan sikap materialstik ini, ijinkan kami mengisahkan sebuah anekdot. Dalam suatu perjalaan kereta, seorang pemuda duduk berdampingan dengan seorang Bapak paruh baya. Karena sang pemuda tidak bawa jam tangan, ia pun bertanya kepada sang Bapak, “Pak, jam berapa sekarang?”. Sang Bapak tak menoleh, seolah tak mendengar pertanyaan anak muda tersebut. Pemuda itupun mengulang pertanyaannya sekali lagi, “maaf pak, sekarang jam berapa?”. Sang Bapak tetap bergeming. Setelah bertanya untuk ketiga kalinya, akhirnya sang Bapak menoleh dan menjawab, “wahai anak muda bukannya saya tak mau menjawab pertanyaanmu. Saya Cuma kuatir kalau saya jawab pertanyaanmu, pasti kamu akan bertanya hal lain lagi. Setelah lama Tanya-jawab pasti kita akan akrab. Istri saya akan menjemput di stasiun, kalau ia lihat kita akrab pasti ia akan mengajakmu ke rumah untuk istirahat sejenak, serta makan dan mandi. Lalu kamu pasti tidak hanya akan datang sekali, kamu akan datang berkali-kali.

Pemuda tadi tidak sabaran untuk menyela, “Lho bukannya bagus pak kalau silaturahmi kita makin erat?”. Sang Bapak melanjutkan, “kalau kamu datang berkali-kali, saya kuatir kamu juga akrab dengan putri saya, ia seusia denganmu. Kalau kalian akrab, bisa-bisa kalian akan pacaran dan memutuskan menikah”. Pemuda kembali menyela dengan wajah tersipu-sipu, “wah justru bagus dong Pak, Bapak akan jadi mertua saya”. Akhirnya sang Bapak kehabisan kesabaran. “Masalahnya saya tidak mau punya menantu yang jam tangan saja dia tidak punya!” ujarnya dengan kesal. Menarik bukan?

Sebagai koruptor, kami hanya membaca spirit zaman. Ketika materialisme adalah Panglima kehidupan maka kami yakin masa depan kami di negeri ini masih cerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru melawan semangat zaman. Oleh karenanya sebagai warga Negara yang juga punya hak bersuara, kami mendesak agar KPK dibubarkan!

Buk! Suara bantal ditimpuk ke wajahku. “Ayo bangun shalat Subuh! Waktu shalat saja kamu korupsi” demikian omelan Ibuku. Wah, ketemu di alam mimpi saja, saya sudah hampir jadi koruptor. Bagaimana kalau berteman dengan koruptor ya? ***

MUSLIM TANPA MASJID


Tulisan ini lebih merupakan sebuah upaya elaboratif antara gagasan “Muslim Tanpa Masjid” yang dicetuskan cendekiawan Muslim Dr. Kuntowijoyo dan fenomena keberagamaan seputar Ramadhan. Judul tulisan ini sebenarnya meminjam judul buku Kunto yang berjudul serupa Muslim Tanpa Masjid, diterbitkan oleh MIZAN Bandung (2001). Salah satu gagasan orisinal Kunto adalah tesisnya mengenai lahirnya generasi baru di kalangan umat Islam yang disebutnya sebagai generasi 'Muslim Tanpa Masjid' --yang kemudian dipilih menjadi tajuk buku tersebut.

Sebagai narasi pembuka artikel yang menarik --yang juga dikutip di sampul belakang buku itu-- Kunto menulis; "Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara-saudaranya. Bahkan kelahirannya tidak terdengar oleh Muslim yang lain." Diawali dengan paparan ringkas fragmen sesaat setelah kejatuhan Soeharto yang disambut oleh para aktivis mahasiswa dengan sujud syukur, yang menandakan kemusliman mereka. Namun segera diikuti oleh sikap penolakan mereka terhadap figur BJ Habibie, yang menurutnya merupakan 'lambang golongan Islam.' Kunto menengarai momen kelahiran lapisan generasi baru muslim tersebut.

Dalam pandangan Kunto, karakter utama generasi baru Muslim tersebut adalah, mereka merasa bukan bagian dari umat; mereka lebih merasa sebagai bagian dari mahasiswa ketimbang umat; reference group mereka adalah mahasiswa, bukan umat. Salah satu indikasi perasaan non-umat itu, adalah keberanian mereka untuk melanggar konsensus umat melalui Kongres Umat Islam (KUI) pada waktu itu (1998) untuk mendukung Sidang Istimewa (SI) MPR.

Menyebut fenomena generasi baru 'Muslim tanpa masjid' itu sebagai gejala perkotaan, Kunto melacak jejak kelahirannya sebagai buah dari proses perubahan sosiohistoris umat Islam terutama di masa Orde Baru. Mereka lebih banyak dibesarkan oleh suasana keagamaan Islam di sekolah, baik melalui pendidikan agama maupun oleh seksi kerohanian Islam, ketimbang oleh masjid. Karena itulah, menurutnya, wajar jika merasa terasing dari umat. Lebih lanjut, sumber pengetahuan keagamaan mereka bukannya lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau perorangan seperti dai, ustadz, kiai, dan sebagainya, melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, internet, televisi, dan sebagainya.

Fenomena Aktual
Paparan berikut mencoba untuk merekam perkembangan gagasan “Muslim Tanpa Masjid” setelah sekitar satu dekade ide tersebut digulirkan. Mungkin contoh yang saya paparkan akan lebih bersifat fenomenologis. Sama sekali saya tidak ingin melakukan penghakiman atau pembenaran terhadap femomena berikut. Biarlah sidang pembaca menanggapi dengan perspektif masing-masing.

Seorang teman bernama Beddu, di malam kedua Ramadhan mengirimkan sms: “Lagi tarawih neh fren? Kalo saya lagi tarawih di TO (Bioskop 21) neh. Sesudah berbuka di KFC, saya berdzikir dengan nongkrong di Mall dan merenungi makna Ramadhan di Gramedia.” Lain pula dengan Iccank, teman yang lagi keranjingan berselancar di dunia maya. Ia juga bertutur padaku bahwa ia lebih merasa lebih memaknai Ramadhan dengan nongkrong di Café-café ber hotspot. Café baginya lebih imajinatif dibanding Masjid. Di café, ia bisa menelusuri cakrawala pemikiran Islam dari Ulama dan Cendikiawan terkemuka dari berbagai penjuru dunia. Menikmati ratusan artikel sampai e-book yang membincang tentang Islam dari A-Z. Ia menambahkan “Di masjid saya mendengar ceramah Ramadhan yang sudah saya dengar sejak masih kanak-kanak dahulu. Ceramah Agama sebelum shalat tarwih lebih merupakan rutinitas yang membosankan. Di dunia maya, saya merasa lebih tercerahkan dibanding di Masjid.”

Fenomena berbeda datang dari seorang akhwat (panggilan familiar bagi aktivis dakwah perempuan). Ia pernah bertanya padaku “Kak, bagaimana caranya saya bisa menamatkan Al-Qur’an di Bulan Ramadhan kalau selama bulan ini jadwalku padat dengan aktivitas Training dan Pesantren Kilat, baik sebagai Panitia maupun Instruktur? Sebagai Panitia, saya harus menyiapkan makanan buka puasa dan sahur untuk peserta. Sebagai Instruktur saya juga bertugas sebagai moderator mendampingi pemateri, atau mengajari peserta untuk kultum atau kajian ayat.”

Ungkapan yang seirama dengan pertanyaan Akhwat diatas kutemukan pada seorang Ibu yang menjajakan makanan buka puasa di dekat masjid Al-Markas Al-Islami. Waktu itu orang sedang berbondong-bondong memasuki masjid untuk menunaikan Shalat Isya dan tarwih. Kusempatkan singgah menikmati es pisang ijo yang ia jajakan. Sambil menikmati semangkuk pisang Ijo, kulontarkan pertanyaan, “Apakah Ibu tidak merasa menyesal melewatkan Ramadhan tanpa mendapatkan pahala shalat Tarwih?” Sambil bersandar melepas peluh di kursi plastik yang sudah cukup usang, ia menjawab pertanyaanku dengan raut wajah perasaan berdosa, “sebenarnya, saya sangat ingin menjalani Ramadhan sebagaimana orang Islam lainya. Namun justru pada bulan inilah saya bisa mendapatkan penghasilan lebih untuk biaya makan dan sekolah anak-anak”

Perkhidmatan Kemanusiaan
Setelah mengenang pernyataan Ibu diatas, saya tiba-tiba teringat dengan buku “Madrasah Ruhaniah” karya Ustadz Jalaluddin Rahmat. Kang Jalal dalam buku ini menceritakan kegelisahan seorang ibu yang mengadu kepadanya “Ustadz, saya tidak mampu berkhidmat kepada Tuhan, karena setiap menjelang buka dan sahur saya harus mempersiapkan hidangan kepada manusia lain.” Begitu sedihnya ibu tersebut, sampai dia menangis dengan begitu luar biasa.

Dengan nadanya yang khas, Kang Jalal mengingatkan bahwa dengan berkhidmat pada manusia itulah sebenarnya esensi puasa yang telah ibu lakukan. Beliau mencontohkan bagimana Nabi Musa ketika ditanya Allah bahwa ibadah-ibadahnya yang dilakukan selama ini ternyata tidak pernah diberikan kepada Allah. Nabi Musa kemudian meminta petunjuk Allah tentang apa ibadah yang dapat dilakukannya untuk berkhimat kepada-Nya. Allah menjawab agar Musa sering melayani umat manusia. Itulah yang akan mengantarkannya berkhidmat sepenuh hati kepada Tuhan.

Otokritik Terhadap 'Masjid'
Lahirnya generasi Muslim tanpa masjid sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk otokritik terhadap masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dalam beberapa hal hal:

Pertama, ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam mengintegrasikan diri mereka kepada umat, dengan berupaya menghadirkan wajah Islam yang mampu berakselerasi dengan wajah zaman. Para da’i harus mampu meperbaharui wawasan keberagamaan mereka serta memberikan jawaban terhadap fenomena aktual yang lagi menggejala di kalangan ummat. Selain itu mungkin ide khotbah jumat menggunakan instrumen audio visual (seperti Laptop dan LCD) atau ide khotbah jumat pasrtisipatoris layak dipertimbangkan.

Kedua, mensusgestikan kepada ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya untuk mentrasformasi diri sehingga menjadi lebih hirau pada isu-isu kaum marginal seperti pedagang kecil, buruh dan petani. Alangkah tingginya rasa kepemilikan kaum marginal terhadap Islam manakala tema-tema ceramah Ramadhan itu membakar semangat umat tidak sekadar untuk memburu pahala di Bulan Ramadhan atau sekadar beramal karitatif (setelah memberi sedekah, merasa sudah lepas tanggungjawab). Melainkan ceramah-ceramah itu mencerahkan dan menggerakkan jamah untuk membantu kaum dhuafa dan mustadh’afien” secara sitematis dan holistik.

Apakah ini kecenderungan yang positif atau negatif? Biarlah waktu yang menentukannya. Penghakiman terhadap model ijtihad baru itu hanya akan menumpuk persoalan umat. Penindasan massal terhadap kecenderungan pemikiran tersebut menjadi kontraproduktif bagi berkembangnya pemikiran alternatif di kalangan umat. Sepanjang generasi baru Islam mampu mengkreasikan dirinya dalam perkembangan baru tanpa harus kehilangan identitas kemuslimannya justru harus diberi ruang seluas-luasnya. Nabi Muhammad yang mulia pernah bersabda, “Sesuatu yang hilang dalam umat adalah hikmah, maka carilah dimanapun ia berada”. Lagipula Rasul yang agung berkata, “Jika kita berijtihad, kemudian benar, maka pahalanya dua. Akan tetapi, jika ijtihadnya salah, pahalanya satu”. Ingin kututup tulisan ini dengan berpesan pada Iccank dan Beddu. Iccank, lanjutkan petualangan keberagamaanmu di dunia maya. Beddu, temukan Tuhanmu di Mall. Tapi jangan lupa shalat! ****

Minggu, 31 Mei 2009

Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?

Oleh: Hadisaputra

"Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan,"

Partai Politik. Kata yang sangat sering didengung-dengungkan pasca reformasi. Kadang dengungannya sangat memekakkan telinga. Dalam satu tahun terakhir, huru-hara parpol ini sebenarnya telah mulai ditabuh sejak masa verifikasi parpol di Dephukham dan KPU. Setidaknya ada beragam alasan yang membuat orang masih selalu tertarik untuk membentuk parpol. Ada yang berkeinginan merealisasikan idealisme politik kelompoknya, karena tak pernah terwadahi oleh partai yang pernah ada sebelumnya. Dengan kata, para pendiri Parpol baru itu tak mempercayai lagi Parpol yang sudah ada.
Mungkin ada pula yang memiliki misi bisnis. Artinya, seperti tradisi dalam Pemilu yang sudah berlalu, para petinggi Parpol itu ingin meraup keuntungan finansial baik dari Negara (bantuan Pemerintah terhadap Parpol) maupun para kader simpatisannya (Iuran Kader ataupun sumbangan lainnya). Disamping itu saya juga yakin bahwa ada yang berambisi menjadi "para koruptor" dengan memanfaatkan momen Pemilu yang ada.
Akhirnya Pemilu legislative baru saja usai, Parpol lama dan parpol baru baru saja berjibaku dengan kompetisi yang sangat sengit. Meskipun hasilnya baru bisa diketahui secara resmi Bulan Mei mendatang, setidaknya hasil Quick Count beberapa lembaga survey dan perhitungan sementara KPU menempatkan 9 parpol yang berhasil menuju senayan. Tapi ada fakta yang lebih mencengangkan, yakni kemenangan golput, yang diperkirakan mencapai angka 30%. Orang bisa saja berspekulasi bahwa sebagian besar golput itu adalah golput teknis. Karena DPT sebagian besar bermasalah, ada nama ganda atau telah meninggal dunia. Ataupun karena tidak mendapatkan undangan memilih. Jumlah itu belum termasuk golput yang tidak tercantum dalam DPT.
Hasil Quick Count Lembaga Survey Indonesia menegaskan kemenangan golput atas Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, masing-masing 20,29 %, 14,77 %, dan 14,28 %. Bila golput turut dihitung sebagai suara kontestan Pemilu, maka Partai Demokrat hanya meraih 14 %, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an %. Kemenangan golput ini membuat saya berspekulasi bahwa mungkin saja sebagian besar rakyat Indonesia sudah tak percaya lagi terhadap Partai Politik. Lalu pertanyaan terbersit secara spontan dalam benakku adalah mungkinkah ada negara demokrasi tanpa partai politik?

Fungsi Partai Politik
Sebenarnya kenapa sih harus ada partai politik? Bukankah kalau sekadar berperan sebagai kendaraan politik bagi para caleg, parpol ini terkesan mubazir. Bukankah fakta di lapangan justru menunjukkan mesin politik partai tidak terlalu signifikan perannya dalam meloloskan sang caleg meuju parlemen?
Miriam Budiarjo pernah merumuskan fungsi partai politik sebagai berikut: Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat sesuai dengan norma, nilai dan cita-cita sebuah bangsa. Peran partai diharapkan memupuk identitas dan integritas nasional. Kedua, Komunikasi politik, yaitu melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Partai berperan sebagai corong Negara kepada masayarakat sekaligus corong masyarakat kepada Negara. Sebagai corong masyarakat, setidaknya Partai harus melakukan proses interest aggregation (Penggabungan Kepentingan) dan interest articulation (perumusan kepentingan), setelah itu tugas partai adalah memperjuangkannya kepada pemerintah agar dijadikan Public Policy (Kebijaksanaan Umum).
Ketiga,rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Sehingga partai berperan untuk memperluas partisipasi public dalam kegiatan politik. Sehingga partai turut berperan dalam selection of leadership (Regenerasi kepemimpinan politik). Keempat, parpol sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management). Partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari pengendalian perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok.
Realitas Partai Politik
Sekiranya kita menggunakan pandangan diatas untuk mengukur kiprah partai politik di Indonesia maka kita akan menemukan realitas yang bertolak belakang. Pertama peran Sosialisasi Politik, belakangan lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Politik. Jangankan melakukan pencerdasan politik kepada rakyat, parpol malah melakukan pembodohan politik terhadap rakyat. Mendidik masyarakat untuk memutuskan pilihan-pilihan politiknya dengan pendekatan praktik demokrasi transaksional (money politik) , baik terhadap pemilih, maupun dengan penyelenggara pemilu. Jauh dari instrumen pencerdasan bangsa, malah mengkerdilkan mentalitas anak bangsa. Betapa tidak kita menjadi bangsa inlander (bermental budak), ketika parpol mendidik masyarakat untuk menjadi pengemis. Kehilangan harga diri mereka sebagai pemegang kedaulatan bangsa.
Semakin jauh timba dari sumur manakala kita ingin membincang peran parpol dalam memupuk identitas nasional. Justru kehadiran parpol malah menyuburkan sikap eksklusif dan mengkotak-kotakkan masyarakat dalam identitas-identitas partai. Identitas-identitas simbolik yang kadang mengkhianati visi berbangsa kita.
Kiprah partai politik sebagai instrument komunikasi politik juga tersumbat. Bukannya mengartikulasikan harapan dan kepentingan rakyat kepada Negara, malah mencari celah agar bisa mengartikulasikan kepentingan pragmatis personal elit partai, atau kepentingan sempit kelompok. Belum lagi partai lebih disibukkan dengan konflik-konflik internalnya. Sehingga jangankan memfasilitasi komunikasi rakyat dengan Negara, komunikasi internal partai pun mampat. Jadilah rakyat bingung harus mengadu kemana. Mengadu langsung ke Rumah Rakyat (Kantor DPR), mereka hanya berhadapan dengan birokrasi berbelit dan administratif. Jika mereka menuntut haknya dengan sedikit lantang, maka mereka akan berhadapan dengan pentungan aparat. Mengadu ke partai pun tak bisa. Soalnya Sekretariat Partai biasanya hanya diisi oleh bujang kantor alias penjaga kantor yang terkadang merangkap sebagai cleaning service. Pimpinan Partai kadang sibuk sendiri dengan komunikasi politik oportunis dari café ke café, hotel ke hotel, entah mereka membicarakan tentang apa. Namun yang pasti mereka melakukannya “atas nama rakyat”.
Rekrutmen Politik oleh parpol pun tak berjalan. Departemen Kaderisasi Partai tak sebergairah Badan Pemenangan Pemilu. Kaderisasi di partai-partai seolah sekadar formalitas yang tak berkualitas, itupun masih untung kalau masih ada kaderisasi yang sifatnya formalitas. Wajarlah kalau setiap menjelang Pemilu atau Pilkada seolah Partai seolah berebut tokoh-tokoh masyarakat (lebih tepatnya “tokoh berduit”) untuk dijadikan caleg atau calon kepada daerah. Partai telah gagal memainkan perannya sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin bangsa. Syukurlah masih ada kaderisasi kepemimpinan di tingkat Ormas, Ornop ataupun lembaga kultral masyarakat lainnya. Itu pun sudah sangat terbatas stoknya. Akhirnya secara simplistic criteria calon-calon pemimpin itu disingkat kedalam satu pasal saja, memiliki pundi-pundi rupiah.
“Partai sebagai peredam konflik?” Ini pertanyaan yang bernada ironi. Bukankah realitasnya adalah penyulut konflik di tengah masyarakat justru partai politik. Biasanya sebelum Pemilu/Pilkada ada penandatanganan pernyataan siap menag-siap kalah. Sayangnya setiap partai hanya siap menang, sehingga celah sebesar lubang jarum pun digunakan sebagai godam penyulut konflik. Kasus yang lagi hangat beberapa hari terakhir adalah kisruh DPT. Menarik menyimak Analisis Politik Eep Saifullah Fatah (Kompas/14/04), kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahan membabi buta. Adalah tak bertanggung jawab menyamarkan ketidaksiapan kalah di balik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.
Negara Tanpa Parpol, mungkinkah?
Harus jujur saya akui bahwa saya belum menemukan jalan lain, jalan yang mungkin lebih baik dibanding berdemokrasi dengan kendaraan partai politik. Namun saya sangat yakin bahwa jalan itu pasti ada. Daripada terus ditelikung dengan kejumudan demokrasi warisan. Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan. Saya yakin suatu saat nanti warga negara akan memberikan pilihan kepada negara; “Pilih saya atau parpol?”.

Kalau Anggota DPD, atau calon Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) bisa berasal dari calon independen, kenapa tidak para anggota DPR/DPRD bisa juga berasal dari calon independen. Bahkan saya sangat mengimpikan Parpol digusur dari tatanan proses berdemokrasi kita. Saya sudah sangat muak dengan kepalsuan yang dijajakan parpol. Kalau judul tulisan ini adalah pertanyaan, maka di ujung tulisan ini saya masih ingin menegaskan pertanyaan itu: “Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?”

Ada apa dengan Facebook? (2)

Dalam tulisan sebelumnya “Ada Apa dengan Facebook? (1)” , penulis telah menguraikan sejumlah argumentasi kenapa jutaan orang keranjingan facebook. Tulisan lanjutan ini akan mencoba mengelaborasi efek negatif facebook. Hal ini menjadi penting karena sejak kehadirannya sejak tahun 2004, facebook telah menjadi salah satu variabel yang berpengaruh dalam kehidupan kurang lebih 200 juta orang.
Saya ingin mengawali refleksi ini dengan mengutip pernyataan John Naisbit dalam High Tech-High Touch (1999): “Kebisingan teknologi, baik secara harfiah maupun secara kiasan, dapat benar-benar mengucilkan manusia dari sesamanya, dari alam dan dari diri kita sendiri. Teknologi dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional, serta merenggut kita dari kehidupan kita sendiri. Apakah keterkucilan merupakan manfaat yang diberikan teknologi?”. Pernyataan Naisbit menjadi relevan untuk dihubungkan dengan kehidupan para facebooker yang rela menghabiskan waktunya berjam-jam di depan layar komputer untuk berselancar di dunia facebook. Mereka tak lagi menyisakan ruang untuk bersosialisasi melalui human-touch, seakan pertemuan di dunia maya telah mampu melepaskan kerinduan akan sahabat dan keluarga. Berjabat tangan, melihat ekspresi mereka secara langsung, ataupun melepaskan dahaga kerinduan secara langsung menjadi tak lagi relevan.
Seorang teman mahasiswa pernah berbagi perasaan ketergantungannya terhadap facebook. Dulu ketika ia belum punya laptop hampir setiap hari ia menyisihkan uang jajannya untuk berpetualang di dunia facebook melalui warnet. Karena keterbatasan isi dompet, ia dengan terpaksa harus rela untuk meninggalkan warnet setelah berpetualang selama 1-2 jam. Itupun ia sudah harus melakukan penghematan terhadap alokasi budget pengeluaran lainnya. Kini setelah memiliki laptop, memang ia sudah dapat sedikit menghemat uang jajannya. Untuk berselancar di dunia maya, ia hanya perlu mencari lokasi yang memiliki fasilitas hotspot di sekitar area kampus. Namun kini ia bisa menghabiskan waktu seharian di depan laptop, paling jeda untuk sekadar mengisi perut.
Facebook betul-betul telah membuatnya ketagihan. Sehari tanpa facebook, maka dunia akan terasa hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya, bahkan membuatnya sakit kepala. Persis orang yang sedang kecanduan rokok. Bahkan ketika telah meninggalkan lokasi kampus pun, ia sampai harus mencari warkop atau kafe yang menyediakan fasilitas hotspot. Sungguh facebook telah menjadi kebutuhan primer baginya.
Kisah lainnya yang serupa saya baca melalui surat kabar beberapa minggu lalu. Ada seorang karyawan di korea selatan yang harus rela kehilangan pekerjaannya akibat ia menderita penyakit ketagihan facebook. Banyak pekerjaannya yang terbengkalai. Sampai-sampai ia harus rela berbohong bahwa ia sedang sakit, agar ia diberi kesempatan istirahat sambil bermain facebook melalui layar telepon selularnya. Malang nasibnya, ia ketahuan. Akhirnya ia pun dipecat.
Kisah-kisah tersebut seirama dengan istilah “Zona Mabuk Teknologi” (ZMT) yang diperkenalkan Naisbit. ZMT yaitu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan sering kali bertentangan antara teknologi dan percarian kita akan makna. Terdapat 6 gejala ZMT yaitu: (1) Kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, (2) Kita takut sekaligus memuja teknologi, (3) Kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, (4) Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, (5) kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan dan (6) Kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
Gejala ZMT yang pertama (penyelesaian maslah secara kilat) dapat kita temukan dalam kecendrungan warga facebooker untuk mensubstitusi bentuk silaturahmi “face-to-face” menjadi silaturahmi “Facebook”. Gejala kedua (Takut sekaligus memuja teknologi), dapat kita temukan pada ketakutan kita tidak mengikuti perkembangan yang ada di dunia facebook. Seolah kita telah berubah menjadi manusia purba kalau terlambat mengupdate perkembangan terbaru. Kita begitu memuja dan mengagung-agungkan facebook dalam mempermudah hidup kita. Betulkah demikian? Bukankah facebook justru telah memperbudak kita, menyita ruang-ruang pergulatan maknawiyah kita?
Gejala ZMT ketiga (Mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu), di dunia facebook jangan kira kita pasti bertemu dengan orang-orang yang memberikan informasi yang sesungguhnya. Saya pernah diberitahu seorang teman facebooker, bahwa ia memiliki beberapa identitas samaran di dunia facebook. Ia telah mengkreasikan kehidupan imajiner bagi setiap identitas samarannya. Kita akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi teman-teman facebook kita, apakah ia teman yang nyata atau ia cuma teman imajiner yang diciptakan oleh orang yang iseng.
ZMT yang keempat (Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar), dapat ditemukan pada berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam facebook. Kekerasan dapat berupa komentar-komentar kasar di “Wall”, ataupun melakukan pembusukan karakter (ghibah) melalui Group tertentu. Hal ini dapat kita lihat dalam pembusukan karakter terhadap tokoh/kelompok tertentu yang dilakukan secara vulgar di dunia facebook. Orang tak lagi merasa risih untuk bergabung dalam grup-grup seperti itu adalah merupakan pertanda bahwa kita telah menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
Bentuk ZMT selanjutnya adalah kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan. Facebook telah kita posisikan sebagai taman bermain dan rehat atas rutinitas keseharian yang menjemukan. Sebenarnya dalam makna harfiah sekalipun, memang facebook menyediakan banyak fasilitas permainan online. Bahkan kita bisa bermain kartu atau bermain perang-perangan dari orang dari belahan benua yang berbeda.
Bentuk ZMT yang terakhir adalah “kehidupan yang berjarak dan terenggut”. Berapa tidak, facebook telah menyandera waktu-waktu produktif bahkan waktu senggang kita. Padahal waktu senggang adalah ruang bagi kita untuk mempertanyakan makna dan tujuan hidup. Waktu senggang memerlukan ketenangan, kesabaran dan sikap penuh perhatian dan hati yang terbuka. Kesenyapan menyuburkan pikiran, perenungan mengembangkan kebijaksanaan, mendengarkan menghasilkan kemanusiaan. Manakala tidak ada kesenyapan, tidak akan ada ruang untuk berpikir. Kita sudah begitu terbiasa dengan kebisingan, sehingga kita tidak lagi terganggu olehnya papar Naisbit.
Facebook telah merenggut kemampuan kita untuk melakukan refleksi. Setiap saat facebooker menerima informasi baik melalui “wall”nya ataupun “wall” orang lain. Itu belum termasuk surat/info yang masuk melalui “Inbox” (Biasanya dikirim dari grup-grup/komunitas yang kita ikuti di facebook). Saking banyaknya informasi itu sehingga membuat kita tak punya waktu untuk mencerna informasi tersebut lalu memberikan respon yang tepat. Serangan informasi yang bertubi-tubi itu tak memberi kita ruang untuk bernalar secara jernih, berempati secara tulus, dan bertindak tepat untuk menyikapinya.
Bombardir informasi itu membuat kita menjadi termekanisasi seperti mesin. Kita menerima stimulus yang maha besar dan dan harus memberikan respon dengan maha cepat. Bisa dibayangkan jika dalam waktu bersamaan ada teman facebooker kita yang mengirimkan berita duka kematian sahabat terdekat kita, lalu ada pula info undangan perayaan pernikahan handaitaulan kita, ada info teman yang sakit, ada rencana reunian, dll. Belum lagi kalau pada saat bersamaan ada teman yang ingin ingin berbagi masalah atau menyatakan perasaan cintanya melalui “chatroom”. Kita menjadi bingung bagaimana mengelola emosi kita secara tepat. Kita menjadi gamang untuk memutuskan apakah kita seharusnya bersedih, bergembira, atau haru. Semuanya tercampur aduk menjadi satu. Akhirnya kita tidak bisa berempati secara tulus kepada yang berduka dan merasakan kebahagiaan secara wajar.
Kebisingan dunia facebook yang telah menghilangkan kemampuan refleksi kita selanjutnya membuat pola relasi pertemanan kita dengan sesama facebooker menjadi semakin dangkal, kita semakin kehilangan kepekaan. Gejolak kerinduan pada teman-teman sebangku di masa kuliah dulu telah dihanguskan oleh facebook. Kini kerinduan itu telah berwujud berupa sekadar tegur sapa mekanistik.
Bisa dibayangkan kalau ini berlangsung setiap hari, kapasitas kemanusiaan kita akan terdegradasi menjadi sekadar kemampuan menanggapi sekadarnya bagai mesin penjawab. Jangan heran, ketika kemampuan refleksi itu hilang, maka suatu saat nanti kita akan merasakan kehampaan hidup, mungkin bisa jadi depresi, gila bahkan bunuh diri.
Akhirnya selamat memasuki “zona mabuk facebook!”. Sebuah zona yang akan mengeliminasi harkat kemanusiaan kita, sebuah zona yang akan meluruhkan pelangi kemanusiaan kita. Sebentar lagi kita betul-betul telah menjadi ‘robot’, yang lebih rendah dari binatang. Sebab binatang masih bisa merasakan nuansa emosi instingtif, sementara kita menjadi manusia menjadi makhluk yang tuna nalar dan emosi. Layakkah kita menyandang gelar sebagai “binatang facebook”? ***

Ada apa dengan Facebook? (1)

ADA APA DENGAN FACEBOOK?
(Antara Fatwa dan Kebutuhan Manusiawi)
Oleh: Hadisaputra
Direktur Alkemis Institute

“I want to spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone.
One to One. Always. Forever. Now.” (Damien Hirst)
Ungkapan diatas sangat sempurna untuk menggambarkan ketergantungan manusia modern terhadap Internet. Internet penuh dengan jutaan rumah-maya pribadi, orang-orang berbagi kehidupan p ribadinya dengan banyak orang, di setiap tempat, sekarang dan selamanya. Salah satu situs jejaring sosial yang kini telah beranggotakan lebih dari 200 juta orang adalah Facebook.
Facebook adalah situs jaringan sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk perguruan tinggi lain, sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan dengan alamat surat-elektronik apa pun dapat mendaftar di Facebook.
Beberapa hari ini berkembang kontroversi seputar hukum Facebook beredar setelah Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim yang terdiri atas delegasi santri putri mengharamkan penggunaan jejaring sosial, seperti Facebook jika digunakan secara berlebihan (Kompas.com/22/05).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai atau menghakimi Facebook. Sebagaimana ungkapan filsuf Spinoza “Jangan menilai, jangan menghakimi, dan jangan mengikuti, namun harus mengerti dan harus memahami”. Penulis berupaya untuk mengerti dan memahami. Oleh karena itu penulis berupaya melakukan eksplorasi empatetik terhadap ratusan juta orang yang keranjingan Facebook..
Facebook Memanusiakan Manusia
Dalam sebuah obrolan di chatroom Facebook, seorang teman mengajukan pertanyaan yang menggelitik “Apa yang membuat ratusan juta orang keranjingan Facebook?” Waktu itu saya menegaskan bahwa jawaban saya mewakili diri sendiri, sebab saya merasa tidak berhak mewakili jutaan facebooker (Pengguna facebook) lainnya. Apalagi saya belum pernah membaca buku atau hasil penelitian yang menjawab pertanyaan tersebut.
Seingat saya, waktu itu saya memberikan beberapa jawaban. Pertama, Facebook membuka kotak pandora kenangan masa lalu para facebooker. Betapa tidak melalui Facebook, kita bisa bertemu kembali dengan kawan-kawan lama. Baik teman sekampung, saudara/keluarga yang nun jauh disana ataupun teman-teman seangkatan di bangku SD, SMP, SMA atau Perguruan tinggi. Seolah kita sedang memutar jarum jam. Mengennag kembali memori-memori yang telah lalu, baik yang indah, lucu maupun menjengkelkan. Kita dapat mengenang kembali saat-saat bermain, kenagan lama bersama pacar ‘cinta monyet di SMP, atau teman seperjuangan waktu masih terlibat di gerakan mahasiswa.
Ada yang bilang bahwa biasanya orang-orang yang senang membincang atau mengenang masa lalu adalkah orang-orang yang tidak bahagia di masa sekarang ataupun tidak optimis menatap hari esok. Pernyataan ini mungkin ada benarnya, tapi bisa juga berarti orang yang senang membincang masa lalu sebagai tanda kesyukuran atas kehidupan yang sekarang. Merka menganggap rangkaian mozaik-mozaik masa lalu itulah yang telah menyempurnakan keindahan mozaik hidupnya hari ini. Sekaligus merangkai masa lalu sebagai cermin untuk merangkai hari esok.
Jawabanku yang kedua, Facebook juga telah menjadi instrumean alternatif untuk merekatkan hubungan silaturahmi antar keluarga/sahabat yang mungkin kendor akibat padatnya aktivitas keseharian. Apalagi saat ini hampir semua perkantoran, baik lembaga pemerintah maupun swasta, memiliki akses internet. Seorang pegawai/karyawan bisa berkomunikasi dengan keluarga/sahabat di tempat lain sembari menyelesaikan pekerjaan kantornya. Facebook adalah jawaban atas individuasi masyarakat modern. Facebook seolah menjadi antitesis bahwa manusia modern juga tak dapat lepas dari takdirnya sebagai zoon politicon.
Jawaban ketiga, Facebook juga bisa menjadi wadah untuk mencari teman baru, yang memiliki hoby ataupun pandangan hidup yang sama. Dalam form data diri yang disediakan oleh facebook, ada pertanyaan alasan bergabung. Disitu disediakan beberapa alternatif jawaban. Misalnya, alasan Friendship (Mencari teman), relationship (pacar), network (jaringan). Seolah facebook ingin menegaskan dan membenarkan teori David McClelland (1961) bahwa motivasi manusia didorong oleh 3 kebutuhan utama. Yakni Need for Achievement (Kebutuhan untuk berprestasi) , Need for Power (Kebutuhan akan kekuasaan) dan Need for Affiliation.(Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain).
Facebook setidaknya merupakan jawaban atas Need for Affiliation. Disamping itu Facebook juga menjadi instrumen pendukung bagi Need for Power (setidaknya digunakan sebagai alat kampanye gratis bagi para politisi). Dalam hubungannya dengan Need for Achievement, melalui jaringan Facebook terjadai pertukaran informasi seputar literatur ataupun informasi beasiswa.
Hal yang menarik terkai dengan relasi antara Facebook dan Need for Power dapat dilihat dari fenomena kemenangan Barrack Obama, yang menurut sejumlah pengamat disebabkan oleh kemampuan beliau untuk memaksimalkan teknologi informasi termasuk memberdayakan para Facebooker. Fenomena terakhir adalah pemblokiran jaringan Facebook jelang Pilpres Iran. Menurut sumber Kompas.com, alasan pemblokiran adalah karena para pendukung Hussein Mousavi (Capres dari kubu reformis) menggunakan situs jaringan sosial itu dengan lebih baik untuk menyebarluaskankan posisi Mousavi. Mousavi memiliki 5.000 lebih pendukung yang bergabung dengan halaman Facebook-nya, yang antara lain berisi kritik atas pemerintahan saat ini yang dianggap tidak menghargai warga Iran di seluruh dunia. Terlepas dari kontroversi dan alasan pemblokiran, setidaknya warga dunia semakin meyadari bahwa facebook adalah ruang sosialisasi politik yang cukup efektif.
Jawaban keempat, saya menukil teori piramida kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow. Maslow memperkenalkan 5 jenis kebutuhan manusia secara berjenjang. Di tingkat yang paling dasar, ada Physiological Needs (kebutuhan fisik = biologis) yaitu kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, udara, perumahan dan lain-lainnya. Kebutuhan di level selanjutnya adalah Safety and Security needs (keamanan dan keselamatan) adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman. Pada level ketiga, ada Affiliation or Acceptance Needs adalah kebutuhan sosial, teman, dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan kelompok. Level selanjutnya adalah Esteem or Status or Egoistic Needs (kebutuhan akan penghargaan diri), kebutuhan akan pengakuan serta penghargaan dari orang lain. Di puncak pioramida (level kelima), ada kebutuhan Self Actuallization, adalah kebutuhan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi yang luar biasa yang sulit dicapai orang lain.
Dari kelima jenis kebutuhan ini, 3 jenis kebutuah teratas, yakni Affiliation or Acceptance Needs (Kebutuhan Sosial/Cinta), Esteem or Status or Egoistic Needs (kebutuhan akan penghargaan diri) dan Self Actuallization (aktualisasi diri) dapat diperoleh dengan menjadi warga facebook. Facebooker bisa menemukan rasa kasih sayang dan perhatian dari sesama facebooker. Facebook juga menyediakan beragam fasilitas untuk mengungkapkan perhatian dan rasa kasih sayang. Baik berupa ucapan dinding, ucapan selamat ulang tahun ataupun simbol-simbol ungkapan kasih sayang.
Kebutuhan akan penghargaan juga bisa ditemukan lewat apresiasi atas buah pikiran yang kita lontarkan melalui Facebook. Facebook juga memenuhi dahaga aktualisasi diri kita dengan multi fasilitas. Orang bisa beraktulisai diri dengan membuat tulisan di “Notes”, memamerkan foto-foto aktivitas, atau berqaktualisasi diri dengan membantu orang lain dengan memberikan informasi-informasi penting dengan menggunakan “Links”. Aktualisasi diri dapat pula berupa memperjuangkan isu kebijakan publik dengan membentuk “Groups” untuk menggalang simpati publik.
Jawaban terakhir, atau jawaban kelima saya adalah orang bisa lebih “merdeka” di dunia Facebook dibanding di dunia nyata. Terkadang ada orang di dunia nyata adalah orang yang kuper dan pendiam. Namun di dunia facebook kita bisa menemukannya sebagai orang yang cukup cerewet. Kita bisa menemukan komentar-komentar di “dindingnya” atau “obrolan-obrolannya “ yang cukup gaul dan jauh dari kesan kuper. Apakah Facebook juga telah menjadi alat terapi yang cukup efektif bagi mereka? Entahlah, mungkin para psikolog perlu menelitinya lebih lanjut.
Mungkin saja patron-patron dunia nyata begitu menelikung mereka, sehingga dalam dunia nyata mereka harus bertopeng, tidak mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya. Atau bisa pula sebaliknya dunia maya telah memberi ruang bagi pelepasan hasrat, atau “Id” dalam istilah Freud, “Libidoshopy” dalam tulisan Yasraf.
Sekadar Refleksi
Saya juga tidak ingin “menilai dan menghakimi” fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan jejaring sosial seperti "facebook" secara berlebihan. Jangan sampai telinga kita memang lebih sensitif mendengar kata “fatwa” dibanding mendengarkar argumentasi para ulama secara holistik. Bukankah beliau-beliau menekankan kata “berlebihan”.
Mungkin pola relasi ulama dan ummat bukan lagi pola relasi “patron-client”. Ummat tak lagi belajar Islam melulu dari para ulama. Ummat bisa belajar langsung dari buku, internet, ataupun seminar. Ulama tak lagi sepenuhnya menjadi rujukan dalam menjelaskan dunia. Meskipun demikian, kita harus tetap memberikan ruang untuik mendengarkan argumentasi mereka pendekatan nalar objektif.
Kalau, kita tak lagi acuh pada fatwa, setidaknya mari kita dengarkan suara nurani kita. Mari kita menjawab pertanyaan-pertanyan ini di nurani kita masing-masing. Apakah kita tidak sedang kecanduan facebook? Betulkah tidak ada kewajiban yang kita lalaikan akibat kecanduan tersebut? Apakah facebook telah masih menyisakan kita ruang untuk mempertanyakan makna dan tujuan hidup? Apakah facebook telah menghilangkan silaturahmi human-touch kita? Betulkah kita sudah merasa cukup untuk melepaskan kerinduan pada keluarga dan sahabat kita hanya berhadapan dengan layar komputer/hp? ***

Jumat, 22 Mei 2009

Kekerasan dalam Ujian Nasional

Tahun 2009 ini memang lebih dikenang orang sebagai tahun Pemilu, Hampir setiap mata dan telinga pemerhati bangsa ini mungkin larut mengamati hiruk-pikuk manuver politik para elit pasca pemilu legislative 9 april kemarin. Termasuk membincang tema kekerasan, maka hampir semua pengamat akan memfokuskan pengamatannya pada potensi kekerasan dalam Pemilu. Khususnya kekerasan yang mungkin timbul oleh partai atau caleg yang kalah.

Namun ternyata beberapa hari kedepan bukan cuma detik-detik yang menentukan bagi para caleg. Melainkan juga 3.567.472 siswa SMA/SMK/MA juga akan mengadu keberhasilan belajar mereka selama 3 tahun sejak 20 sampai 24 April 2009. Dengan menggunakan data diatas, paling tidak ada sekitar 3 jutaan korban kekerasan dalam pelaksanaan Ujian tahun 2009, data itu belum termasuk tingkat SMP dan SD serta korban tambahan lainnya. Sebab menurut saya Ujian Nasional adalah bunker kekerasan terhadap siswa. Kenapa saya mengambil kesimpulan tersebut? Saya mencoba menghadirkan John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian dengan Teori Kekerasannya.

Definisi Kekerasan

Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang
terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Tiga bentuk kekerasan

Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"—kekerasan langsung, struktural, dan cultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya. Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara budaya. Sedangkan kekerasan structural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut "Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain. Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi peredaman kekerasan langsung maupun struktural.

Kekerasan Struktural

Dengan menggunakan teori Galtung, saya berkesimpulan bahwa ketiga bentuk kekerasan (Structural Violence, Direct Violence dan Cultural Violence) ini terjadi dalam Ujian Nasional (UN). Dalam kasus UN Kekerasan dimulai dengan kekerasan structural. Negara atas nama standarisasi mutu Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan Ujian Nasional. UN inilah yang menjadi variabel utama penentu kelulusan siswa. Kekerasan structural dapat kita temukan dalam marjinalisasi mata pelajaran non UN. Seolah mata pelajaran tersebut sekadar pengisi waktu dalam dunia sekolah. Siswa yang merasa dirinya lebih berpotensi di bidang Olahraga atau kesenian harus menerima fakta bahwa pelajaran favorit mereka tidak diujikan di Ujian Nasional. Mereka harus belajar ekstra agar dapat menguasai materi-materi pelajaran “emas” UN. Efeknya tentu saja mudah ditebak, potensi unik/kelebihan siswa selain minat pada materi UN akan cenderung tidak diberi ruang.

Disamping itu proses belajar mengajar yang dialektis dan berdimensi nilai terkesan diabaikan. Jadilah sekolah sekadar menjadi lembaga bimbingan belajar untuk mengikuti Ujian Nasional. Proses Belajar dibuat lebih instan dan terfokus pada kemampuan menjawab soal-soal yang sering muncul dalam UN.

Guru pun tetntu saja akan menjadi korban kekerasan structural ini. Guru kehilangan perannya sebagai pendidik. Mereka harus mampu berakselerasi dengan system yang dibuat oleh Pemerintah. Tak ada lagi istilah mengajar secara kreatif dan imajinatif di depan siswa. Inovasi mengajar para guru dibonsai atas nama program “Sukses UN”. Ceramah tentang moral dan etika menjadi tidak relevan lagi, sebab indicator kesuksesan anak selama 3 tahun ditentukan oleh kemamuan menjawab soal. Daripada membuang waktu percuma, para guru pun berlomba untuk mensabdakan soal-soal Ujian yang sering muncul di UN.

Hal yang lebih memilukan terkait dengan fenomena Ujian Nasional tahun lalu, ketika beberapa orang guru harus berurusan dengan polisi karena dituduh membocorkan soal Ujian Nasional. Meski tindakan ini bukanlah tindakan terpuji, setidaknya hal itu mereka lakukan atas nama sikap “keorangtuaan” yang tidak ingin melihat anak didik mereka gamang menatap masa depan. Tidakkah ini menjadi bukti cukup bahwa korban kekerasan bukan cuma para siswa, bapak dan ibu “pahlawan tanpa tanda jasa” pun harus jadi korban tragedy Ujian Nasional.

Padahal pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Hal itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat. Ki Hajar Dewantara dulu pernah mewasiatkan agar pendidikan berorientasi menumbuhkan mentalitas merdeka bagi anak bangsa. Bukan mentalitas kuli pasar sebagaimana dianut oleh dunia pendidikan nasional hari ini.

Sehingga ketika membincang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh ujian nasional melainkan terletak pada paradigma pendidikan yang kita anut. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Betapa absurdnya mengukur keberhasilan pendidikan nasional dengan instrument Ujian Nasional.

Kekerasan Langsung

Kekerasan langsung (Direct Violence) terjadi pada siswa peserta Ujian Nasional. Kekerasan diawali dengan persiapan super ekstra yang menyita energy dan waktu dalam menghadapi Ujian Nasional. Betapa tidak, proses belajar di kelas yang semakin diporsir dengan jam pelajaran tambahan. Belum lagi bagi mereka yang berkocek tebal merasa wajib hukumnya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah. Di rumah, orang tua mereka pasti juga ingin terlibat menjadi mandor pengawas apakah sang anak belajar atau tidak. Di usia yang sangat belia mereka telah menjadi korban kekerasan berlapis.

Kekerasan langsung dapat pula berbentuk teror mental yang sering diulang-ulang dalam setiap petuah pembina upacara ataupun walikelas tentang “monster” standar nilai rata-rata minimal kelulusan dalam Ujian Nasional, yang sekarang sudah mencapai 5,5. Nilai meningkat dari standar kelulusan tahun lalu yang mempersyaratkan nilai rata-rata minimal 5,25. Fase kekerasan selanjutnya adalah pasca pelaksanaan Ujian Nasional. Apalagi jika terdapat siswa yang tidak lulus, bisa saja ada di anatara siswa yang mengalami goncangan jiwa yang berat. Seolah mereka tak punya masa depan lagi, sebagaimana propaganda yang sering mereka dapatkan di sekolah ataupun di Bimbingan Belajar.

Kekerasan Kultural

Bentuk kekerasan ketiga adalah kekerasan kultural. Bentuk kekerasan ini dapat berupa keterlibatan semua orang untuk menciptakan atmosfer yang menakut-nakuti siswa untuk senantiasa mempersiapkan pelaksanaan Ujian Nasional. Secara tidak sadar masyarakat juga mereproduksi ketakutan ini kea lam bawah sadar mereka. Mereka telah menjadi agen spionase Negara untuk memancung siswa yang dianggap malas/santai menghadapi monster Ujian Nasional. Petuah-petuah “Hati-hatiko belajar nak, kalau tidak lulusko rusak masa depanmu” tidak hanya diucap oleh Bapak-Ibu Guru di sekolah tapi juga oleh Kakek-Nenek di Kampung. Manakala kita turut membenarkan dan turut mereproduksi ketakutan terhadap Ujian Nasional berarti kita turut serta menyuburkan kekerasan Kultural.

Penutup

Sikap pemerintah yang bebal terhadap kritik semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional.
Para birokrat pendidikan, teknisi, dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat, walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak pernah berkaca pada setiap kegagalan yang direproduksi berulang-ulang. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian kecil siswa yang menerima kalungan medali emas olimpiade. Tetapi, mereka tidak peduli terhadap berbagai akibat kesalahan paradigma ini.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kisah Jalaluddin Rumi yang dituturkan Miftah Rahmat dalam pengantar “Road to Allah”. Kisah itu menceritakan perjuangan burung kecil yang berusaha memadamkan api Namrud yang membakar Ibrahim. Dengan paruhnya yang mungil ia terbang ke samudera, mengambil air, menyimpannya dan berusaha menjatuhkannya dari tempat yang sangat tinggi, berharap bisa memadamkan api Namrud. Seluruh binatang dan tumbuhan menertawakannya. “Bagaimana mungkin paruh yang kecil itu dapat mngeambil air untuk dapat memadamkan api Namrud?” mendengar ini burung kecil itu menjawab, “aku tahu aku tidak akan pernah bisa memadamkan api namrud, tapi aku ingin Allah Ta’ala mencatat aku sebagai makhluk yang pernah berusaha untuk memadamkannya”. Selama mata, telinga dan hati penguasa masih tertutup untuk menerima kebenaran ini, maka suara ini tidak boleh berhenti dikumandangkan.

Kamis, 05 Februari 2009

Minggu, 25 Januari 2009