Senin, 16 November 2009

BUBARKAN KPK!!!

Muak! Bosan! Mual! Betapa tidak, pagi, siang, malam, bangun dan jelang tidur aku diberondong berita seputar kisruh “Cicak versus Buaya”. Begitu Televisi dinyalakan berita-berita itu langsung memekakkan telingaku. Channel TV kupindahkan, sejenak dapat kunikmati film kartun, atau lantunan suara penyanyi kegemaranku. Tak lama kemudian, berita “sekilas” muncul lagi. Masih dengan kisah pertarungan “makhluk melata”. Gerah, kumatikan televisiku.

Kurengkuh bantalku, tak lama aku pun terpejam. Berenang di lautan kapuk. Berita seputar korupsi menggenangi alam bawah sadarku. Aku bertemu dengan seorang koruptor. Koruptor itu sedang berorasi meyampaikan Pledoi para koruptor Indonesia dengan judul “Koruptor Menggugat”. Berikut petikan orasinya:

Koruptor Menggugat

Kami para koruptor Indonesia dengan ini menyatakan kemuakan terhadap hipokrisi yang dianut oleh orang-orang di negeri ini. Ijinkan kami menyampaikan sejumlah alasan, kenapa kami memilih “Koruptor” sebagai jalan hidup.

Pertama, kami korupsi karena kami manusia. Manusia memang diciptakan dengan kecenderungan keserakahan, tidak pernah puas dan punya naluri untuk mempertahankan hidup. Kami bukan robot, karenanya kami tidak bisa diprogram untuk sekadar mengikuti aturan yang dititahkan oleh Undang-undang, Peraturan Pemeritah atau apapun istilahnya. Kami tidak ingin mengingkari potensi kemanusiaan tersebut. Pendapat kami juga dudukung oleh ahli falsafah Cina, Xun Zi (310-237 SM) yang berkata: “Manusia itu bersifat jahat. Manusia yang baik adalah palsu kerana ia bertentangan dengan nalurinya yang paling asal.”

Kedua, korupsi adalah karakter bangsa kita. Bung Hatta, tokoh kemerdekaan, di tahun 1950-an berkesimpulan korupsi adalah soal kebudayaan. Maksudnya, karena soal sogok, suap, dan upeti sudah lazim dikenal dari zaman baheula (Subangun, Kompas 07/10/2009). Dengarkan pula senandung ceramah budaya berjudul “Manusia Indonesia” yang dilisankan oleh Mochtar Lubis pada tahun 1977 dan dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia” oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001. Menurut Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia adalah tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Kami hanyalah anak bangsa yang mewarisi mentalitas tersebut. Salahkah kami jika kami ingin ber-Indonesia secara kaffah (menyeluruh)?

Ketiga, korupsi adalah jalan paling ampuh untuk memutus rantai birokrasi. Salah satu syarat terwujudnya Good Governance adalah adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat. Bagaimana bisa peka dan responsif kalau rantai birokrasinya cukup panjang? Jusuf Kalla pada malam penganugerahan Birokrasi Award 2008 yang diadakan Institut Reformasi Birokrasi Indo Pos-Jawa Pos Group di Jakarta (11/9/2008) pernah bertutur "Pegawai kita kelewat banyak. Satu Dirjen punya lima direktur, satu direktur punya lima Kasi (kepala seksi). Jadi, satu surat harus naik-turun, lewat banyak meja, baru ada keputusan."

Ijinkan kami memaparkan contoh-contoh keseharian kita. Bisakah anda bayangkan bagaimana ribetnya hari-hari anda kalau tidak ada istilah “uang damai” pada saat anda kena tilang? Atau bisakah anda memenangkan tender proyek kalau tidak pakai uang pelicin? Sabarkah anda menanti pembuatan sertifikat tanah tanpa “plus plus” selama setahun? Soal birokrasi KTP atau SIM, mungkin anda lebih tahu. Tentu contoh lainnya anda bisa cari sendiri.

Keempat, korupsi merekatkan hubungan kekeluargaan. Sejak kami jadi koruptor kami bisa berbuat lebih banyak untuk keluarga dan handai taulan. Kami bisa memberi bantuan kepada keluarga yang membutuhkan. Omongan kami juga lebih didengar oleh keluarga. Pokoknya kami dijadikan “kantong ajaib Doraemon” bagi keluarga. Biarlah pakar anti korupsi menyitir istilah Edward Banfield, ‘amoral familsm’ untuk spirit kekeluargaan yang kami bangun. Yang pasti kami bisa merasakan kebermaknaan dengan berbuat bagi keluarga dan sanak saudara kami.



Ekspor Koruptor

Kelima, koruptor sebenarnya bisa jadi asset produktif bagi Negara. Daripada sibuk menghujat kami dengan sabda-sabda moral, lebih baik manfaatkan kami untuk menghasilkan devisa negara. Ekspor kami ke luar negeri. Sebab kami telah menunjukkan profesionalisme di dalam negeri. Coba anda bayangkan, betapa ketatnya pengawasan, berlapis-lapisnya aturan tetang korupsi, toh kami tetap berhasil menjebol. Beri kami peluang keluar negeri. Kalau perlu kirim kami ke Negara yang banyak asset kekayaannya dan ketat aturannya. Ya paling tidak kami bisa membantu para TKI sebagai pahlawn devisa bagi negara. Ya ide ini juga kami pinjam dari Budayawan Radhar Panca Dahana dalam “Inikah Kita? Mozaik Manusia Indonesia”.

Keenam, koruptor itu pasti masuk surga. Coba hitunglah tempat-tempat ibadah yang megah di negeri ini, disana pasti kami pernah menanam saham. Bukankah itu amal jariyah bagi kami? Banyak pemuka-pemuka agama malah sering mendoakan kami karena kami rajin menyumbang bahkan menjadi donatur di tempat ibadah atau lembaga pendidikan keagamaan yang mereka kelola. Bukankah para pemuka agama itu dekat dengan Tuhan? Belum lagi doa orang-orang miskin dan anak jalanan yang sering kami santuni. Bukankah doa mereka mudah diijabah oleh Allah SWT? Ah senangnya jadi koruptor, di dunia senang, di akhirat senang. Kiat sukses dunia akhirat bagi kami adalah dengan korupsi 1 Milyar, menyumbang 100 juta.

Ketujuh, dengan jadi koruptor justru kami makin ditokohkan ditengah-tengah masyarakat. Bukankah materialisme telah mnjadi pandangan hidup yang dominan di tengah masyarakat kita? Bukankah parameter seseorang didengar dan digugu bukan lagi karena tigginya kearifan dan kedalaman ilmunya, melainkan seberapa melimpah harta yang ia miliki?

Terkait dengan sikap materialstik ini, ijinkan kami mengisahkan sebuah anekdot. Dalam suatu perjalaan kereta, seorang pemuda duduk berdampingan dengan seorang Bapak paruh baya. Karena sang pemuda tidak bawa jam tangan, ia pun bertanya kepada sang Bapak, “Pak, jam berapa sekarang?”. Sang Bapak tak menoleh, seolah tak mendengar pertanyaan anak muda tersebut. Pemuda itupun mengulang pertanyaannya sekali lagi, “maaf pak, sekarang jam berapa?”. Sang Bapak tetap bergeming. Setelah bertanya untuk ketiga kalinya, akhirnya sang Bapak menoleh dan menjawab, “wahai anak muda bukannya saya tak mau menjawab pertanyaanmu. Saya Cuma kuatir kalau saya jawab pertanyaanmu, pasti kamu akan bertanya hal lain lagi. Setelah lama Tanya-jawab pasti kita akan akrab. Istri saya akan menjemput di stasiun, kalau ia lihat kita akrab pasti ia akan mengajakmu ke rumah untuk istirahat sejenak, serta makan dan mandi. Lalu kamu pasti tidak hanya akan datang sekali, kamu akan datang berkali-kali.

Pemuda tadi tidak sabaran untuk menyela, “Lho bukannya bagus pak kalau silaturahmi kita makin erat?”. Sang Bapak melanjutkan, “kalau kamu datang berkali-kali, saya kuatir kamu juga akrab dengan putri saya, ia seusia denganmu. Kalau kalian akrab, bisa-bisa kalian akan pacaran dan memutuskan menikah”. Pemuda kembali menyela dengan wajah tersipu-sipu, “wah justru bagus dong Pak, Bapak akan jadi mertua saya”. Akhirnya sang Bapak kehabisan kesabaran. “Masalahnya saya tidak mau punya menantu yang jam tangan saja dia tidak punya!” ujarnya dengan kesal. Menarik bukan?

Sebagai koruptor, kami hanya membaca spirit zaman. Ketika materialisme adalah Panglima kehidupan maka kami yakin masa depan kami di negeri ini masih cerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru melawan semangat zaman. Oleh karenanya sebagai warga Negara yang juga punya hak bersuara, kami mendesak agar KPK dibubarkan!

Buk! Suara bantal ditimpuk ke wajahku. “Ayo bangun shalat Subuh! Waktu shalat saja kamu korupsi” demikian omelan Ibuku. Wah, ketemu di alam mimpi saja, saya sudah hampir jadi koruptor. Bagaimana kalau berteman dengan koruptor ya? ***

MUSLIM TANPA MASJID


Tulisan ini lebih merupakan sebuah upaya elaboratif antara gagasan “Muslim Tanpa Masjid” yang dicetuskan cendekiawan Muslim Dr. Kuntowijoyo dan fenomena keberagamaan seputar Ramadhan. Judul tulisan ini sebenarnya meminjam judul buku Kunto yang berjudul serupa Muslim Tanpa Masjid, diterbitkan oleh MIZAN Bandung (2001). Salah satu gagasan orisinal Kunto adalah tesisnya mengenai lahirnya generasi baru di kalangan umat Islam yang disebutnya sebagai generasi 'Muslim Tanpa Masjid' --yang kemudian dipilih menjadi tajuk buku tersebut.

Sebagai narasi pembuka artikel yang menarik --yang juga dikutip di sampul belakang buku itu-- Kunto menulis; "Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara-saudaranya. Bahkan kelahirannya tidak terdengar oleh Muslim yang lain." Diawali dengan paparan ringkas fragmen sesaat setelah kejatuhan Soeharto yang disambut oleh para aktivis mahasiswa dengan sujud syukur, yang menandakan kemusliman mereka. Namun segera diikuti oleh sikap penolakan mereka terhadap figur BJ Habibie, yang menurutnya merupakan 'lambang golongan Islam.' Kunto menengarai momen kelahiran lapisan generasi baru muslim tersebut.

Dalam pandangan Kunto, karakter utama generasi baru Muslim tersebut adalah, mereka merasa bukan bagian dari umat; mereka lebih merasa sebagai bagian dari mahasiswa ketimbang umat; reference group mereka adalah mahasiswa, bukan umat. Salah satu indikasi perasaan non-umat itu, adalah keberanian mereka untuk melanggar konsensus umat melalui Kongres Umat Islam (KUI) pada waktu itu (1998) untuk mendukung Sidang Istimewa (SI) MPR.

Menyebut fenomena generasi baru 'Muslim tanpa masjid' itu sebagai gejala perkotaan, Kunto melacak jejak kelahirannya sebagai buah dari proses perubahan sosiohistoris umat Islam terutama di masa Orde Baru. Mereka lebih banyak dibesarkan oleh suasana keagamaan Islam di sekolah, baik melalui pendidikan agama maupun oleh seksi kerohanian Islam, ketimbang oleh masjid. Karena itulah, menurutnya, wajar jika merasa terasing dari umat. Lebih lanjut, sumber pengetahuan keagamaan mereka bukannya lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau perorangan seperti dai, ustadz, kiai, dan sebagainya, melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, internet, televisi, dan sebagainya.

Fenomena Aktual
Paparan berikut mencoba untuk merekam perkembangan gagasan “Muslim Tanpa Masjid” setelah sekitar satu dekade ide tersebut digulirkan. Mungkin contoh yang saya paparkan akan lebih bersifat fenomenologis. Sama sekali saya tidak ingin melakukan penghakiman atau pembenaran terhadap femomena berikut. Biarlah sidang pembaca menanggapi dengan perspektif masing-masing.

Seorang teman bernama Beddu, di malam kedua Ramadhan mengirimkan sms: “Lagi tarawih neh fren? Kalo saya lagi tarawih di TO (Bioskop 21) neh. Sesudah berbuka di KFC, saya berdzikir dengan nongkrong di Mall dan merenungi makna Ramadhan di Gramedia.” Lain pula dengan Iccank, teman yang lagi keranjingan berselancar di dunia maya. Ia juga bertutur padaku bahwa ia lebih merasa lebih memaknai Ramadhan dengan nongkrong di Café-café ber hotspot. Café baginya lebih imajinatif dibanding Masjid. Di café, ia bisa menelusuri cakrawala pemikiran Islam dari Ulama dan Cendikiawan terkemuka dari berbagai penjuru dunia. Menikmati ratusan artikel sampai e-book yang membincang tentang Islam dari A-Z. Ia menambahkan “Di masjid saya mendengar ceramah Ramadhan yang sudah saya dengar sejak masih kanak-kanak dahulu. Ceramah Agama sebelum shalat tarwih lebih merupakan rutinitas yang membosankan. Di dunia maya, saya merasa lebih tercerahkan dibanding di Masjid.”

Fenomena berbeda datang dari seorang akhwat (panggilan familiar bagi aktivis dakwah perempuan). Ia pernah bertanya padaku “Kak, bagaimana caranya saya bisa menamatkan Al-Qur’an di Bulan Ramadhan kalau selama bulan ini jadwalku padat dengan aktivitas Training dan Pesantren Kilat, baik sebagai Panitia maupun Instruktur? Sebagai Panitia, saya harus menyiapkan makanan buka puasa dan sahur untuk peserta. Sebagai Instruktur saya juga bertugas sebagai moderator mendampingi pemateri, atau mengajari peserta untuk kultum atau kajian ayat.”

Ungkapan yang seirama dengan pertanyaan Akhwat diatas kutemukan pada seorang Ibu yang menjajakan makanan buka puasa di dekat masjid Al-Markas Al-Islami. Waktu itu orang sedang berbondong-bondong memasuki masjid untuk menunaikan Shalat Isya dan tarwih. Kusempatkan singgah menikmati es pisang ijo yang ia jajakan. Sambil menikmati semangkuk pisang Ijo, kulontarkan pertanyaan, “Apakah Ibu tidak merasa menyesal melewatkan Ramadhan tanpa mendapatkan pahala shalat Tarwih?” Sambil bersandar melepas peluh di kursi plastik yang sudah cukup usang, ia menjawab pertanyaanku dengan raut wajah perasaan berdosa, “sebenarnya, saya sangat ingin menjalani Ramadhan sebagaimana orang Islam lainya. Namun justru pada bulan inilah saya bisa mendapatkan penghasilan lebih untuk biaya makan dan sekolah anak-anak”

Perkhidmatan Kemanusiaan
Setelah mengenang pernyataan Ibu diatas, saya tiba-tiba teringat dengan buku “Madrasah Ruhaniah” karya Ustadz Jalaluddin Rahmat. Kang Jalal dalam buku ini menceritakan kegelisahan seorang ibu yang mengadu kepadanya “Ustadz, saya tidak mampu berkhidmat kepada Tuhan, karena setiap menjelang buka dan sahur saya harus mempersiapkan hidangan kepada manusia lain.” Begitu sedihnya ibu tersebut, sampai dia menangis dengan begitu luar biasa.

Dengan nadanya yang khas, Kang Jalal mengingatkan bahwa dengan berkhidmat pada manusia itulah sebenarnya esensi puasa yang telah ibu lakukan. Beliau mencontohkan bagimana Nabi Musa ketika ditanya Allah bahwa ibadah-ibadahnya yang dilakukan selama ini ternyata tidak pernah diberikan kepada Allah. Nabi Musa kemudian meminta petunjuk Allah tentang apa ibadah yang dapat dilakukannya untuk berkhimat kepada-Nya. Allah menjawab agar Musa sering melayani umat manusia. Itulah yang akan mengantarkannya berkhidmat sepenuh hati kepada Tuhan.

Otokritik Terhadap 'Masjid'
Lahirnya generasi Muslim tanpa masjid sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk otokritik terhadap masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dalam beberapa hal hal:

Pertama, ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam mengintegrasikan diri mereka kepada umat, dengan berupaya menghadirkan wajah Islam yang mampu berakselerasi dengan wajah zaman. Para da’i harus mampu meperbaharui wawasan keberagamaan mereka serta memberikan jawaban terhadap fenomena aktual yang lagi menggejala di kalangan ummat. Selain itu mungkin ide khotbah jumat menggunakan instrumen audio visual (seperti Laptop dan LCD) atau ide khotbah jumat pasrtisipatoris layak dipertimbangkan.

Kedua, mensusgestikan kepada ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya untuk mentrasformasi diri sehingga menjadi lebih hirau pada isu-isu kaum marginal seperti pedagang kecil, buruh dan petani. Alangkah tingginya rasa kepemilikan kaum marginal terhadap Islam manakala tema-tema ceramah Ramadhan itu membakar semangat umat tidak sekadar untuk memburu pahala di Bulan Ramadhan atau sekadar beramal karitatif (setelah memberi sedekah, merasa sudah lepas tanggungjawab). Melainkan ceramah-ceramah itu mencerahkan dan menggerakkan jamah untuk membantu kaum dhuafa dan mustadh’afien” secara sitematis dan holistik.

Apakah ini kecenderungan yang positif atau negatif? Biarlah waktu yang menentukannya. Penghakiman terhadap model ijtihad baru itu hanya akan menumpuk persoalan umat. Penindasan massal terhadap kecenderungan pemikiran tersebut menjadi kontraproduktif bagi berkembangnya pemikiran alternatif di kalangan umat. Sepanjang generasi baru Islam mampu mengkreasikan dirinya dalam perkembangan baru tanpa harus kehilangan identitas kemuslimannya justru harus diberi ruang seluas-luasnya. Nabi Muhammad yang mulia pernah bersabda, “Sesuatu yang hilang dalam umat adalah hikmah, maka carilah dimanapun ia berada”. Lagipula Rasul yang agung berkata, “Jika kita berijtihad, kemudian benar, maka pahalanya dua. Akan tetapi, jika ijtihadnya salah, pahalanya satu”. Ingin kututup tulisan ini dengan berpesan pada Iccank dan Beddu. Iccank, lanjutkan petualangan keberagamaanmu di dunia maya. Beddu, temukan Tuhanmu di Mall. Tapi jangan lupa shalat! ****