Minggu, 31 Mei 2009

Ada apa dengan Facebook? (2)

Dalam tulisan sebelumnya “Ada Apa dengan Facebook? (1)” , penulis telah menguraikan sejumlah argumentasi kenapa jutaan orang keranjingan facebook. Tulisan lanjutan ini akan mencoba mengelaborasi efek negatif facebook. Hal ini menjadi penting karena sejak kehadirannya sejak tahun 2004, facebook telah menjadi salah satu variabel yang berpengaruh dalam kehidupan kurang lebih 200 juta orang.
Saya ingin mengawali refleksi ini dengan mengutip pernyataan John Naisbit dalam High Tech-High Touch (1999): “Kebisingan teknologi, baik secara harfiah maupun secara kiasan, dapat benar-benar mengucilkan manusia dari sesamanya, dari alam dan dari diri kita sendiri. Teknologi dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional, serta merenggut kita dari kehidupan kita sendiri. Apakah keterkucilan merupakan manfaat yang diberikan teknologi?”. Pernyataan Naisbit menjadi relevan untuk dihubungkan dengan kehidupan para facebooker yang rela menghabiskan waktunya berjam-jam di depan layar komputer untuk berselancar di dunia facebook. Mereka tak lagi menyisakan ruang untuk bersosialisasi melalui human-touch, seakan pertemuan di dunia maya telah mampu melepaskan kerinduan akan sahabat dan keluarga. Berjabat tangan, melihat ekspresi mereka secara langsung, ataupun melepaskan dahaga kerinduan secara langsung menjadi tak lagi relevan.
Seorang teman mahasiswa pernah berbagi perasaan ketergantungannya terhadap facebook. Dulu ketika ia belum punya laptop hampir setiap hari ia menyisihkan uang jajannya untuk berpetualang di dunia facebook melalui warnet. Karena keterbatasan isi dompet, ia dengan terpaksa harus rela untuk meninggalkan warnet setelah berpetualang selama 1-2 jam. Itupun ia sudah harus melakukan penghematan terhadap alokasi budget pengeluaran lainnya. Kini setelah memiliki laptop, memang ia sudah dapat sedikit menghemat uang jajannya. Untuk berselancar di dunia maya, ia hanya perlu mencari lokasi yang memiliki fasilitas hotspot di sekitar area kampus. Namun kini ia bisa menghabiskan waktu seharian di depan laptop, paling jeda untuk sekadar mengisi perut.
Facebook betul-betul telah membuatnya ketagihan. Sehari tanpa facebook, maka dunia akan terasa hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya, bahkan membuatnya sakit kepala. Persis orang yang sedang kecanduan rokok. Bahkan ketika telah meninggalkan lokasi kampus pun, ia sampai harus mencari warkop atau kafe yang menyediakan fasilitas hotspot. Sungguh facebook telah menjadi kebutuhan primer baginya.
Kisah lainnya yang serupa saya baca melalui surat kabar beberapa minggu lalu. Ada seorang karyawan di korea selatan yang harus rela kehilangan pekerjaannya akibat ia menderita penyakit ketagihan facebook. Banyak pekerjaannya yang terbengkalai. Sampai-sampai ia harus rela berbohong bahwa ia sedang sakit, agar ia diberi kesempatan istirahat sambil bermain facebook melalui layar telepon selularnya. Malang nasibnya, ia ketahuan. Akhirnya ia pun dipecat.
Kisah-kisah tersebut seirama dengan istilah “Zona Mabuk Teknologi” (ZMT) yang diperkenalkan Naisbit. ZMT yaitu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan sering kali bertentangan antara teknologi dan percarian kita akan makna. Terdapat 6 gejala ZMT yaitu: (1) Kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, (2) Kita takut sekaligus memuja teknologi, (3) Kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, (4) Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, (5) kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan dan (6) Kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
Gejala ZMT yang pertama (penyelesaian maslah secara kilat) dapat kita temukan dalam kecendrungan warga facebooker untuk mensubstitusi bentuk silaturahmi “face-to-face” menjadi silaturahmi “Facebook”. Gejala kedua (Takut sekaligus memuja teknologi), dapat kita temukan pada ketakutan kita tidak mengikuti perkembangan yang ada di dunia facebook. Seolah kita telah berubah menjadi manusia purba kalau terlambat mengupdate perkembangan terbaru. Kita begitu memuja dan mengagung-agungkan facebook dalam mempermudah hidup kita. Betulkah demikian? Bukankah facebook justru telah memperbudak kita, menyita ruang-ruang pergulatan maknawiyah kita?
Gejala ZMT ketiga (Mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu), di dunia facebook jangan kira kita pasti bertemu dengan orang-orang yang memberikan informasi yang sesungguhnya. Saya pernah diberitahu seorang teman facebooker, bahwa ia memiliki beberapa identitas samaran di dunia facebook. Ia telah mengkreasikan kehidupan imajiner bagi setiap identitas samarannya. Kita akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi teman-teman facebook kita, apakah ia teman yang nyata atau ia cuma teman imajiner yang diciptakan oleh orang yang iseng.
ZMT yang keempat (Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar), dapat ditemukan pada berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam facebook. Kekerasan dapat berupa komentar-komentar kasar di “Wall”, ataupun melakukan pembusukan karakter (ghibah) melalui Group tertentu. Hal ini dapat kita lihat dalam pembusukan karakter terhadap tokoh/kelompok tertentu yang dilakukan secara vulgar di dunia facebook. Orang tak lagi merasa risih untuk bergabung dalam grup-grup seperti itu adalah merupakan pertanda bahwa kita telah menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
Bentuk ZMT selanjutnya adalah kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan. Facebook telah kita posisikan sebagai taman bermain dan rehat atas rutinitas keseharian yang menjemukan. Sebenarnya dalam makna harfiah sekalipun, memang facebook menyediakan banyak fasilitas permainan online. Bahkan kita bisa bermain kartu atau bermain perang-perangan dari orang dari belahan benua yang berbeda.
Bentuk ZMT yang terakhir adalah “kehidupan yang berjarak dan terenggut”. Berapa tidak, facebook telah menyandera waktu-waktu produktif bahkan waktu senggang kita. Padahal waktu senggang adalah ruang bagi kita untuk mempertanyakan makna dan tujuan hidup. Waktu senggang memerlukan ketenangan, kesabaran dan sikap penuh perhatian dan hati yang terbuka. Kesenyapan menyuburkan pikiran, perenungan mengembangkan kebijaksanaan, mendengarkan menghasilkan kemanusiaan. Manakala tidak ada kesenyapan, tidak akan ada ruang untuk berpikir. Kita sudah begitu terbiasa dengan kebisingan, sehingga kita tidak lagi terganggu olehnya papar Naisbit.
Facebook telah merenggut kemampuan kita untuk melakukan refleksi. Setiap saat facebooker menerima informasi baik melalui “wall”nya ataupun “wall” orang lain. Itu belum termasuk surat/info yang masuk melalui “Inbox” (Biasanya dikirim dari grup-grup/komunitas yang kita ikuti di facebook). Saking banyaknya informasi itu sehingga membuat kita tak punya waktu untuk mencerna informasi tersebut lalu memberikan respon yang tepat. Serangan informasi yang bertubi-tubi itu tak memberi kita ruang untuk bernalar secara jernih, berempati secara tulus, dan bertindak tepat untuk menyikapinya.
Bombardir informasi itu membuat kita menjadi termekanisasi seperti mesin. Kita menerima stimulus yang maha besar dan dan harus memberikan respon dengan maha cepat. Bisa dibayangkan jika dalam waktu bersamaan ada teman facebooker kita yang mengirimkan berita duka kematian sahabat terdekat kita, lalu ada pula info undangan perayaan pernikahan handaitaulan kita, ada info teman yang sakit, ada rencana reunian, dll. Belum lagi kalau pada saat bersamaan ada teman yang ingin ingin berbagi masalah atau menyatakan perasaan cintanya melalui “chatroom”. Kita menjadi bingung bagaimana mengelola emosi kita secara tepat. Kita menjadi gamang untuk memutuskan apakah kita seharusnya bersedih, bergembira, atau haru. Semuanya tercampur aduk menjadi satu. Akhirnya kita tidak bisa berempati secara tulus kepada yang berduka dan merasakan kebahagiaan secara wajar.
Kebisingan dunia facebook yang telah menghilangkan kemampuan refleksi kita selanjutnya membuat pola relasi pertemanan kita dengan sesama facebooker menjadi semakin dangkal, kita semakin kehilangan kepekaan. Gejolak kerinduan pada teman-teman sebangku di masa kuliah dulu telah dihanguskan oleh facebook. Kini kerinduan itu telah berwujud berupa sekadar tegur sapa mekanistik.
Bisa dibayangkan kalau ini berlangsung setiap hari, kapasitas kemanusiaan kita akan terdegradasi menjadi sekadar kemampuan menanggapi sekadarnya bagai mesin penjawab. Jangan heran, ketika kemampuan refleksi itu hilang, maka suatu saat nanti kita akan merasakan kehampaan hidup, mungkin bisa jadi depresi, gila bahkan bunuh diri.
Akhirnya selamat memasuki “zona mabuk facebook!”. Sebuah zona yang akan mengeliminasi harkat kemanusiaan kita, sebuah zona yang akan meluruhkan pelangi kemanusiaan kita. Sebentar lagi kita betul-betul telah menjadi ‘robot’, yang lebih rendah dari binatang. Sebab binatang masih bisa merasakan nuansa emosi instingtif, sementara kita menjadi manusia menjadi makhluk yang tuna nalar dan emosi. Layakkah kita menyandang gelar sebagai “binatang facebook”? ***

Tidak ada komentar: