Senin, 08 Februari 2010

Mahasiswa Melawan Kekerasan

(Catatan dari Silatwil BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Timur)

“Ksatria!” Itulah kata yang kurang lebih bisa menggambarkan sikap Mahasiswa Muhammadiyah, dalam Silatwil BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia Timur, yang dilaksanakan tanggal 01-04 Februari di Universitas Muhammadiyah Parepare. Betapa tidak, ditengah keteladalan berapologi, sebagaimana dipertontonkan elit politik nasional dan lokal, BEM PTM se-Intim dengan nalar obyektif justru membincang sebuah tema yang terkesan membuka ‘aib’ sendiri. “Kekerasan Mahasiswa”, tema ini diulas menjadi salah satu topik dalam perhelatan akbar tersebut.

Membincang kekerasan, John Galtung adalah salah satu tokoh yang teori-teorinya cukup bisa membantu dalam mengulas fenomena tersebut. Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.

Jadi sebenarnya kekerasan bukan hanya soal memukul, melukai, menganiaya, sampai membunuh, tapi lebih luas dari itu. Misalnya, Negara yang menelantarkan rakyatnya sehingga banyak yang menderita kelaparan sampai mati, itu juga kekerasan. Negara membuat kebijakan Ujian Nasional, yang membuat siswa merasa diteror mentalnya, juga bisa disebut kekerasan.

Mengingat begitu luasnya spektrum perbincangan tentang kekerasan, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, “kekerasan mahasiswa” dalam tulisan ini sekadar membahas tentang fenomena tawuran mahasiswa. Uraian bentuk-bentuk kekerasan lainnya, akan diulas pada tulisan yang lain.

Tawuran Mahasiswa

Dalam pandangan penulis, tawuran mahasiswa bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yakni: Pertama, Pertarungan Identitas. Dalam konteks tawuran mahasiswa, belakangan ini identitas yang menguat adalah identitas kedaerahan (suku), fakultas/jurusan dan organisasi/komunitas. Identitas adalah pisau yang bermata ganda. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.

John Naisbit pernah memperkenalkan istilah “Global Paradox” dalam membaca arus globalisasi. “Ketika dunia berpadu secara ekonomi, bagian-bagian komponennya menjadi lebih banyak dan lebih kecil dan lebih penting. Secara serentak, ekonomi global berkembang sementara ukuran bagian-bagiannya menyusut” kata Naisbitt.

Betapa tidak, ditengah arus globalisme tersebut, orang justru kembali kepada identitas-identitas primordialnya. Pergaulan global justru membuat orang berupaya untuk menemukan identitas yang paling unik dari diri mereka. Ketika kita telah memasuki era gobalisasi, justru kecendrungan menguatnya etnisitas juga semakin menguat. Fenomena menjamurnya organisasi mahasiswa daerah (organda) bisa dilihat dalam perspektif ini. Kita bisa bergaul dengan orang dari seantero dunia, namun di satu sisi kita rindu untuk melekatkan diri pada payung identitas etnik.

Kedua, mahasiswa sebagai kelompok middle class yang sering menasbihkan diri sebagi agent of change mengalami disorientasi pascareformasi. Mahasiswa gagal mengidentifikasi ‘musuh bersama’ (common enemy). Setelah Soeharto ditumbangkan, rezim kekuasaan dengan wajah garang dan represif praktis lenyap. Kebebasan berpendapat memungkinkan unsur-unsur masyarakat menyuarakan aspirasi. Jangan-jangan, tanpa represi politik ala Soeharto, tanpa kekuasaan hegemonik model Soekarno, atau tanpa kekangan diktatorial fasis maupun kolonial, gerakan mahasiswa malah tidak berdaya.

Amin Maalouf dalam “In the Name of Identity” menegaskan, bahwa dari sekian banyak identitas yang melekat pada diri kita, kita cenderung menggunakan identitas yang paling terancam eksistensinya. Penguasa otoritarian dan represif, membuat mahasiswa dalam identitas ‘agent of change’ menyatu untuk melakukan perlawanan. Ketika kran demokratisasi terbuka, akhirnya mahasisa kembali ke barak-barak identitas primordial dan eksklusifitas kelompok.

Ketiga, kekerasan struktural. Istilah ini diperkenalkan oleh John Galtung. Para penganut genre “Kesadaran Kritis” sering menggunakan argumentasi ini dalam membedah berbagai fenomena termasuk tawuran mahasiswa. Jenis kekerasan ini hanya dapat ditemukan kalau orang melihat situasi secara menyeluruh dan mencari unsur-unsur ketimpangan, ketidakadilan, represi dan seterusnya. Dalam situasi seperti itu, kita tidak mudah menemukan pelaku atau penyebabnya. Inilah yang disebut dengan kekerasan struktural, karena kita mengalamatkan situasi ini pada sistem atau strukturnya yang jelek.

Kekerasan struktural ini dapat berupa transformasi dalam kehidupan masyarakat yang begitu cepat. Yasraf amir Piliang malah tidak lagi menyebutnya dengan istilah kecepatan, tapi percepatan. Gerak zaman yang tak lagi terkendali oleh sang empu, manusia. Sebutlah proses modernisasi dan globalisasi yang membuat masyarakat kita dalam kondisi tegang terus menerus. Franz Magnis Suseno menyebut bahwa proses transformasi budaya dari masyarakat tradisional ke pascatradisional dengan sendirinya menciptakan disorientasi, dislokasi, disfungsionalisasi yang terasa sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politis.

Saya ingin memberi contoh sederhana, ketegangan yang berupa ketidakpastian masa depan mengakibatkan banyak orang tua yang memaksakan anaknya kuliah di jurusan yang digandrungi pasar, meskipun sebenarnya sang anak tidak begitu “enjoy” malah membenci jurusan yang dipilihkan orang tuanya. Ketidakpastian masa depan bagi mereka akan semakin menjadi-jadi manakala “janji-janji manis” kepastian kerja tidak mereka lihat pada senior-senior yang lebih dulu meninggalkan dunia kampus. Malah mereka terkadang harus tersenyum miris melihat para senior berjubel membawa map lamaran kerja kesana kemari. Atau mendengarkan kisah-kisah “hitam” (baca: keculasan sistemik) dalam rekrutmen PNS; sebuah cita-cita yang dititipkan emak dari kampung.

Jadilah mereka generasi frustrasi, generasi split, antara imaji ideal yang ada dalam benaknya dengan kehidupan real yang harus mereka hadapi. Ketegangan yang melahirkan frustrasi bahkan depresi tersebut, memperoleh ruang katarsis lewat prosesi tawuran. Sehingga tawuran mahasiswa dalam perspektif ini dimaknai sebagai efek domino dari kekerasan struktural.

Keempat, rekayasa (provokasi) dari pihak “berkepentingan”. Tentu saja untuk mengendus pihak “berkepentingan” ini tidak mudah. Serumit melacak pelaku kentut, baunya bisa sangat terasa, tapi terkadang susah mengidentifikasi pelakunya. Pelakunya bisa penguasa yang tidak ingin energi kritis mahasiswa tersalurkan untuk merusak tatanan keculasan yang telah dibangunnya. Pelakunya juga bisa dari kelompok oposisi terhadap birokrat kampus, yang ingin melakukan “character assasination” terhadap pimpinan yang sedang menjabat. Bisa juga rekayasa dari teman-teman mahasiswa sendiri yang ingin menumpangkan motif dendam pribadinya melalui kerusuhan komunal.

Namun dalam pendekatan rekayasa (provokasi) ini, saya lebih condong melihat bahwa yang disebut “berkepentingan” tersebut adalah pihak yang ingin meredam nalar kritis mahasiswa. Tapi mengapa mahasiswa begitu mudah terprovokasi? Berarti ada kekerasan laten yang hadir di tengah mahasiswa yang bisa disulut kapan saja. Itulah yang dsebut Maalouf dengan “pertarungan atas nama identitas” atau mengkristalnya tribalisme dalam terma ‘Global Paradox’ Naisbit.

Akhirnya tulisan ini juga tidak bermaksud memberikan solusi yang simplistic untuk sebuah persoalan yang cukup sophisticated. Namun saya percaya, keberanian teman-teman BEM PTM mengangkat tema “kekerasan mahasiswa” adalah sebuah ikhtiar untuk memutus mata rantai kekerasan. Ingin kututup tulisan ini dengan mengutip doa Mahatma Gandhi untuk semua umat manusia; “Penganut anti kekerasan secara otomatis akan menjadi abdi-abdi Tuhan. Penganut anti-kekerasan harus siap mengabdi kepada Tuhan dalam setiap detik kehidupannya. Semoga engkau semua menjadi abdi Tuhan yang sejati dan menjadi aktivias anti kekerasan sejati”. ***