Senin, 16 November 2009

MUSLIM TANPA MASJID


Tulisan ini lebih merupakan sebuah upaya elaboratif antara gagasan “Muslim Tanpa Masjid” yang dicetuskan cendekiawan Muslim Dr. Kuntowijoyo dan fenomena keberagamaan seputar Ramadhan. Judul tulisan ini sebenarnya meminjam judul buku Kunto yang berjudul serupa Muslim Tanpa Masjid, diterbitkan oleh MIZAN Bandung (2001). Salah satu gagasan orisinal Kunto adalah tesisnya mengenai lahirnya generasi baru di kalangan umat Islam yang disebutnya sebagai generasi 'Muslim Tanpa Masjid' --yang kemudian dipilih menjadi tajuk buku tersebut.

Sebagai narasi pembuka artikel yang menarik --yang juga dikutip di sampul belakang buku itu-- Kunto menulis; "Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara-saudaranya. Bahkan kelahirannya tidak terdengar oleh Muslim yang lain." Diawali dengan paparan ringkas fragmen sesaat setelah kejatuhan Soeharto yang disambut oleh para aktivis mahasiswa dengan sujud syukur, yang menandakan kemusliman mereka. Namun segera diikuti oleh sikap penolakan mereka terhadap figur BJ Habibie, yang menurutnya merupakan 'lambang golongan Islam.' Kunto menengarai momen kelahiran lapisan generasi baru muslim tersebut.

Dalam pandangan Kunto, karakter utama generasi baru Muslim tersebut adalah, mereka merasa bukan bagian dari umat; mereka lebih merasa sebagai bagian dari mahasiswa ketimbang umat; reference group mereka adalah mahasiswa, bukan umat. Salah satu indikasi perasaan non-umat itu, adalah keberanian mereka untuk melanggar konsensus umat melalui Kongres Umat Islam (KUI) pada waktu itu (1998) untuk mendukung Sidang Istimewa (SI) MPR.

Menyebut fenomena generasi baru 'Muslim tanpa masjid' itu sebagai gejala perkotaan, Kunto melacak jejak kelahirannya sebagai buah dari proses perubahan sosiohistoris umat Islam terutama di masa Orde Baru. Mereka lebih banyak dibesarkan oleh suasana keagamaan Islam di sekolah, baik melalui pendidikan agama maupun oleh seksi kerohanian Islam, ketimbang oleh masjid. Karena itulah, menurutnya, wajar jika merasa terasing dari umat. Lebih lanjut, sumber pengetahuan keagamaan mereka bukannya lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau perorangan seperti dai, ustadz, kiai, dan sebagainya, melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, internet, televisi, dan sebagainya.

Fenomena Aktual
Paparan berikut mencoba untuk merekam perkembangan gagasan “Muslim Tanpa Masjid” setelah sekitar satu dekade ide tersebut digulirkan. Mungkin contoh yang saya paparkan akan lebih bersifat fenomenologis. Sama sekali saya tidak ingin melakukan penghakiman atau pembenaran terhadap femomena berikut. Biarlah sidang pembaca menanggapi dengan perspektif masing-masing.

Seorang teman bernama Beddu, di malam kedua Ramadhan mengirimkan sms: “Lagi tarawih neh fren? Kalo saya lagi tarawih di TO (Bioskop 21) neh. Sesudah berbuka di KFC, saya berdzikir dengan nongkrong di Mall dan merenungi makna Ramadhan di Gramedia.” Lain pula dengan Iccank, teman yang lagi keranjingan berselancar di dunia maya. Ia juga bertutur padaku bahwa ia lebih merasa lebih memaknai Ramadhan dengan nongkrong di Café-café ber hotspot. Café baginya lebih imajinatif dibanding Masjid. Di café, ia bisa menelusuri cakrawala pemikiran Islam dari Ulama dan Cendikiawan terkemuka dari berbagai penjuru dunia. Menikmati ratusan artikel sampai e-book yang membincang tentang Islam dari A-Z. Ia menambahkan “Di masjid saya mendengar ceramah Ramadhan yang sudah saya dengar sejak masih kanak-kanak dahulu. Ceramah Agama sebelum shalat tarwih lebih merupakan rutinitas yang membosankan. Di dunia maya, saya merasa lebih tercerahkan dibanding di Masjid.”

Fenomena berbeda datang dari seorang akhwat (panggilan familiar bagi aktivis dakwah perempuan). Ia pernah bertanya padaku “Kak, bagaimana caranya saya bisa menamatkan Al-Qur’an di Bulan Ramadhan kalau selama bulan ini jadwalku padat dengan aktivitas Training dan Pesantren Kilat, baik sebagai Panitia maupun Instruktur? Sebagai Panitia, saya harus menyiapkan makanan buka puasa dan sahur untuk peserta. Sebagai Instruktur saya juga bertugas sebagai moderator mendampingi pemateri, atau mengajari peserta untuk kultum atau kajian ayat.”

Ungkapan yang seirama dengan pertanyaan Akhwat diatas kutemukan pada seorang Ibu yang menjajakan makanan buka puasa di dekat masjid Al-Markas Al-Islami. Waktu itu orang sedang berbondong-bondong memasuki masjid untuk menunaikan Shalat Isya dan tarwih. Kusempatkan singgah menikmati es pisang ijo yang ia jajakan. Sambil menikmati semangkuk pisang Ijo, kulontarkan pertanyaan, “Apakah Ibu tidak merasa menyesal melewatkan Ramadhan tanpa mendapatkan pahala shalat Tarwih?” Sambil bersandar melepas peluh di kursi plastik yang sudah cukup usang, ia menjawab pertanyaanku dengan raut wajah perasaan berdosa, “sebenarnya, saya sangat ingin menjalani Ramadhan sebagaimana orang Islam lainya. Namun justru pada bulan inilah saya bisa mendapatkan penghasilan lebih untuk biaya makan dan sekolah anak-anak”

Perkhidmatan Kemanusiaan
Setelah mengenang pernyataan Ibu diatas, saya tiba-tiba teringat dengan buku “Madrasah Ruhaniah” karya Ustadz Jalaluddin Rahmat. Kang Jalal dalam buku ini menceritakan kegelisahan seorang ibu yang mengadu kepadanya “Ustadz, saya tidak mampu berkhidmat kepada Tuhan, karena setiap menjelang buka dan sahur saya harus mempersiapkan hidangan kepada manusia lain.” Begitu sedihnya ibu tersebut, sampai dia menangis dengan begitu luar biasa.

Dengan nadanya yang khas, Kang Jalal mengingatkan bahwa dengan berkhidmat pada manusia itulah sebenarnya esensi puasa yang telah ibu lakukan. Beliau mencontohkan bagimana Nabi Musa ketika ditanya Allah bahwa ibadah-ibadahnya yang dilakukan selama ini ternyata tidak pernah diberikan kepada Allah. Nabi Musa kemudian meminta petunjuk Allah tentang apa ibadah yang dapat dilakukannya untuk berkhimat kepada-Nya. Allah menjawab agar Musa sering melayani umat manusia. Itulah yang akan mengantarkannya berkhidmat sepenuh hati kepada Tuhan.

Otokritik Terhadap 'Masjid'
Lahirnya generasi Muslim tanpa masjid sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk otokritik terhadap masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dalam beberapa hal hal:

Pertama, ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam mengintegrasikan diri mereka kepada umat, dengan berupaya menghadirkan wajah Islam yang mampu berakselerasi dengan wajah zaman. Para da’i harus mampu meperbaharui wawasan keberagamaan mereka serta memberikan jawaban terhadap fenomena aktual yang lagi menggejala di kalangan ummat. Selain itu mungkin ide khotbah jumat menggunakan instrumen audio visual (seperti Laptop dan LCD) atau ide khotbah jumat pasrtisipatoris layak dipertimbangkan.

Kedua, mensusgestikan kepada ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya untuk mentrasformasi diri sehingga menjadi lebih hirau pada isu-isu kaum marginal seperti pedagang kecil, buruh dan petani. Alangkah tingginya rasa kepemilikan kaum marginal terhadap Islam manakala tema-tema ceramah Ramadhan itu membakar semangat umat tidak sekadar untuk memburu pahala di Bulan Ramadhan atau sekadar beramal karitatif (setelah memberi sedekah, merasa sudah lepas tanggungjawab). Melainkan ceramah-ceramah itu mencerahkan dan menggerakkan jamah untuk membantu kaum dhuafa dan mustadh’afien” secara sitematis dan holistik.

Apakah ini kecenderungan yang positif atau negatif? Biarlah waktu yang menentukannya. Penghakiman terhadap model ijtihad baru itu hanya akan menumpuk persoalan umat. Penindasan massal terhadap kecenderungan pemikiran tersebut menjadi kontraproduktif bagi berkembangnya pemikiran alternatif di kalangan umat. Sepanjang generasi baru Islam mampu mengkreasikan dirinya dalam perkembangan baru tanpa harus kehilangan identitas kemuslimannya justru harus diberi ruang seluas-luasnya. Nabi Muhammad yang mulia pernah bersabda, “Sesuatu yang hilang dalam umat adalah hikmah, maka carilah dimanapun ia berada”. Lagipula Rasul yang agung berkata, “Jika kita berijtihad, kemudian benar, maka pahalanya dua. Akan tetapi, jika ijtihadnya salah, pahalanya satu”. Ingin kututup tulisan ini dengan berpesan pada Iccank dan Beddu. Iccank, lanjutkan petualangan keberagamaanmu di dunia maya. Beddu, temukan Tuhanmu di Mall. Tapi jangan lupa shalat! ****

Tidak ada komentar: