Rabu, 17 Desember 2008

Siapa Diuntungkan "Swing Voter"?

JAKARTA, JUMAT - Lembaga Survei Indonesia boleh saja melansir bahwa Partai Demokrat paling diuntungkan dengan tingginya swing voter jika pemilu dilakukan sekarang. Namun, bagi pengamat politik dari Universitas Paramadina, Bima Arya, swing voter akan menguntungkan bagi partai baru yang mampu memberikan kesan yang berbeda dari partai-partai yang ada.

Dalam diskusi "Swing Voter Memberi Peluang Calon Alternatif" di Gedung DPR, Jumat (21/11), ia menambahkan, bagi calon alternatif yang bisa mengkondisikan sejak awal, swing voter juga menguntungkan.

"Swing voter akan menguntungkan bagi partai baru yang bisa berbeda, unik, dan memunculkan hal baru. Swing voter juga bisa dimanfaatkan, kalau calon alternatif bisa mengkondisikan sejak awal," kata Bima.

Menurutnya, basis swing voter berada dikalangan pemilih nasionalis. Oleh karena itu, capres-capres yang berpeluang meraih suara dari swing voter dalam prediksinya calon-calon yang dinilai nasionalis.

Menanggapi ini, Yusril Ihza Mahendra yang siap mencalonkan diri pada pilpres 2009, tak terlalu percaya dengan adanya dikotomi nasionalis dan religius. Saat ini, menurutnya tak terlalu jelas partai yang mengambil ideologi di dua jalur tersebut.

Sementara itu, pengusung Sri Sultan Hamengkubuwono X yang juga pengamat politik, Sukardi Rinakit memaparkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka swing voter. Salah satunya, krisis tokoh dan tidak adanya isu perubahan yang menarik pemilih.

"Swing voter jumlahnya besar karena tidak ada tokoh yang betul-betul diimpikan rakyat. Kalau ada (tokoh) yang diimpikan, pasti swing voter kecil," ujarnya.

Inggried Dwi Wedhaswary
http://www.indonesiamemilih.com/read/xml/2008/11/21/16414288/Siapa.Diuntungkan.Swing.Voter

Koalisi Strategis Islam, Bukan Poros Tengah Jilid II



PERSDA/BIAN HARNANSA
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin (kanan) menerima cenderamata dari Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Jenderal TNI (Purn) Wiranto, di Jakarta, Kamis (24/1). Wiranto maupun Din menyatakan pertemuan tersebut hanya silaturahmi saja, untuk menepis anggapan acara tersebut merupakan konsolidasi menjelang Pemilihan Presiden 2009.



JAKARTA,MINGGU-Koalisi strategis partai Islam, atau partai berbasis mass Islam, bukanlah bentuk poros tengah jilid II. Penyamaan makna keduanya, merupakan distorsi yang menyesatkan.

"Telah terjadi distorsi makna gagasan yang sebenarnya, yang saya maksudkan adalah perlunya koalisi strategis di antara partai-partai Islam dan berbasis massa Islam dalam menghadapi persoalan strategis kebangsaan . Jadi tidak hanya soal pilpres. Karena terkesan selama ini mereka berbeda satu sama lain, padahal sama-sama mengaitkan diri dengan Islam. Sebagai akibatnya umat di lapis bawah bingung dan terpecah, " ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin di Jakarta, Minggu (14/12) malam.

Din menambahkan, kondisi yang membingungkan umat ini, tentu tidak positif bagi citra politik Islam dan konsolidasi demokrasi Indonesia. "Jadi gagasan koalisi strategis ini berjangka panjang, sebagai pola hubungan antara partai-partai Islam dan berbasis massa Islam tanpa harus melebur eksistensi mereka," katanya.

Koalisi strategis ini, menurut Din, juga untuk memudahkan komunikasi bahkan komunikasi dengan lingkaran-lingkaran politik lain dalam rangka membangun Simpul Lingkaran Kebangsaan yang diperlukan Indonesia yang majemuk. Koalisi Strategis ini justru untuk memudahkan pencairan dikotomi politik nasionalis berhadapan Islam, yang sudah tercipta sejak dulu dan masih ada dengan adanya partai-partai Islam dewasa ini.

"Kalau poros umat berhubungan dengan orang- perorang, tapi Koalisi Strategis berhubungan dengan bentuk komunikasi antarpartai. Bisa dikaitkan dengan pilpres untuk meningkatkan political leverage partai Islam, karena kalau jalan sendiri-sendiri, partai Islam ini hanya menjadi pelengkap penyerta kalau tidak sebagai pelengkap penderita dari kekuatan politik lain, " ujar Din yang menambahkan bahwa hanya partai yang tidak mau mengamalkan ajaran ukhuwah dan silaturrahim, atau partai yang terlalu kuat egoisme kepartaian saja yang menolak ajakan moral ini.

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Memetakan Minat Pemilih Pemula

Litbang Kompas/Gunawan

MENYANDANG sebutan sebagai pemilih pemula, golongan penduduk usia 17 hingga 21 tahun tidaklah selalu buta soal politik, termasuk soal pemilihan umum yang akan dihelat negeri ini tahun depan. Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya. Yang berbeda adalah soal antusiasme dan preferensi.

Antusiasme pemilih pemula, yaitu pemilih yang akan mengikuti Pemilu 2009 untuk pertama kalinya, terangkum dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 25-27 November lalu. Dari sejumlah pemilih pemula yang diwawancarai melalui telepon, terungkap bahwa mayoritas (86,4 persen) menyatakan akan menggunakan hak suara mereka dalam pemilu.

Tingkat antusiasme ini termasuk paling tinggi. Pada kelompok pemilih muda lainnya, yang sudah pernah menggunakan hak suaranya, seperti kelompok usia 22-29 tahun dan 30-40 tahun, tingkat antusiasmenya lebih rendah sekitar 5 persen. Pada kelompok usia yang lebih tua, yakni 41 tahun ke atas, antusiasme untuk mengikuti pemilu dalam bentuk memberikan suara lebih rendah lagi, yaitu 79,3 persen.

Alasan di balik niat mencoblos para pemilih mula adalah pemikiran bahwa apa pun hasil pemilu akan berdampak juga bagi kehidupan mereka, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih baik ikut memberikan suara. Namun, seperti apakah sebenarnya preferensi para pemilih pemula ini?

Setelah berjalan hampir empat bulan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 34 parpol nasional peserta Pemilu 2009 yang kemudian bertambah menjadi 38 parpol, pengenalan para pemilih pemula terhadap parpol masih rendah.

Lebih banyak responden pemilih pemula yang mengaku hanya tahu nama partai-partai besar yang sudah ada sejak dulu. Kondisi ini sebenarnya juga sama pada kelompok pemilih muda lainnya, bahkan juga pada pemilih yang tua. Tidak heran hanya sekitar 1,5 persen dari total responden yang mengaku mengetahui hampir semua parpol.

Hal ini mengindikasikan masih lemahnya sosialisasi partai-partai baru di masyarakat. Selain banyak tidak mengetahui keberadaan partai baru, bagian terbesar responden juga tidak mengetahui nama-nama caleg yang diusung parpol. Padahal mereka (caleg) inilah yang nantinya akan dipilih.

Jika seandainya saat ini dilakukan pemilihan umum legislatif, sejumlah besar pemilih pemula ini (33,9 persen) masih belum memutuskan partai mana yang akan dipilih. Sementara itu, sejumlah 49 persen responden pemilih pemula yang sudah punya pilihan diperebutkan oleh partai-partai mapan seperti Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golkar.

Partai-partai baru, meski tidak dinafikan oleh para pemilih pemula untuk dipilih, belum sampai pada tingkat menarik minat mencoblos. Artinya, preferensi pemilih pemula terhadap partai baru dalam tingkatan penerimaan (akseptabilitas) namun belum konkret menjadi sebuah pilihan politik (elektabilitas)

Pengaruh keluarga

Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.

Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat.

Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.

Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim (lihat tabel). Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.

Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).

Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.

Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.

Program kampanye

Meski tidak mudah, tingginya antusiasme pemilih pemula untuk ikut mencoblos pada pemilu tahun depan menjadi peluang bagi partai baru.

Menurut responden, program atau isu yang perlu dikembangkan dalam kampanye partai agar menarik minat kalangan pemilih pemula adalah soal pendidikan dan kesehatan (30,8 persen).

Program yang perlu diperhatikan selanjutnya secara berturut-turut adalah kesejahteraan umum (21,3 persen) dan isu perekonomian (13,1 persen).

Tingginya antusiasme dan gambaran ideal pemilih pemula mengenai Indonesia, nantinya akan teruji saat Pemilu 2009. Suara pemilih pemula akan turut menentukan arah pemerintahan yang baru.

Paling tidak, didapat gambaran bahwa sesungguhnya kaum muda terutama pemilih pemula, tidak lagi apatis terhadap proses demokrasi saat ini.
(Litbang Kompas/GIANIE)

Rabu, 26 November 2008

Pergulatan Menemukan Makna Ramadhan

Oleh: Hadisaputra

Pencarian manusia akan makna merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini dan bukan suatu “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instingtif. Makna itu unik dan spesifik sehingga ia harus dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendir; hanya dengan demikian ia mencapai signifikansi yang akan memuaskan kehendaknya sendiri terhadap makna.

(Victor Frankl, Man’s Search for Meaning)



Tiga Hari lagi Puasa…

Tak terasa Ramadhan 1429 H akan segera menyapa. Mungkin karena pusaran arus modernitas meniscayakan percepatan waktu dalam pelbagai dimensi hidup, sehingga aku pun terperosok dalam pusaran arus yang sama. Pusaran yang membuatku menjadi tuna kuasa atas waktu. Apakah selama ini kita hidup bagaikan robopath? Makhluk yang tuna independensi dan tuna kesadaran dalam menjalani hidup.

Hmm...bergumul menemukan makna... Sekiranya aku masih ingin disebut manusia seharusnya aku tetap memegang kendali atas hidupku. Termasuk memberi makna baru terhadap Ramadhan yang ’kan menyambangiku.

Ramadhan tentu saja memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Bagi para ustadz, Ramadhan adalah rangkaian episode ”30 hari mencari amplop”. Bagi pedagang makanan, Ramadhan adalah musim panen berlimpah. Bisa dibayangkan alangkah hambarnya Buka Puasa tanpa Pisang Ijo, Es cendol, Pallu Butung, Es Buah, dll. Bagi pedagang pakaian musiman, inilah saatnya banting setir untuk menjual pakaian-pakain muslim/ah dan segala macam pernak-pernik Islami. Bagi para politisi, Ramadhan adalah rangkaian episode ”30 hari menebar citra” sebagai politisi yang dekat dengan masjid dan ummat. Malah terkadang di bumbui dengan politisi yang pro ”Syariat Islam”, meski terkadang mereka sendiri tak paham apa yang mereka bicarakan. Apalagi Ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir sebelum Pemilu 2009. Tentu saja alangkah sayang apabila dilewatkan.

Saya mulai berkenalan dengan Ramadhan sejak kecil. Kemudian mulai menahan lapar dan haus sejak kelas I SD. Itupun karena iming-iming hadiah dan pujian orang-oarng di sekitarku. Bagku Ramadhan adalah momentum pembuktian diri di hadapan orang lain bahwa saya juga bisa puasa lho. Pernah suatu waktu kubertanya pada Guru agamaku di sekolah, ”Kenapa Tuhan melarang kita makan dan minum di Bulan Ramadhan?” Dengan santainya Guru Agamaku menjawab, supaya kita bisa merasakan pendertiaan yang dirasakan oleh fakir miskin yang mungkin saja tak makan karena tak punya makanan. Dengan begitu, kita tidak akan pernah memiliki sifat kikir untuk berbagi dengan mereka. Karena kita telah merasakan betapa beratnya menahan lapar itu.

Aku makin bingung, kalau puasa itu bertujuan agar kita punya pengalaman menjadi orang miskin yang tak punya makanan, kenapa ketika Adzan Magrib berkumandang Ibuku justru menyiapkan makanan dan minuman yang enak-enak. Malahan lebih enak dibanding sebelum Bulan Puasa tiba. Kalau orang miskin itu tak punya makanan, kenapa kita tidak disuruh saja langsung berbagai makanan dengan mereka?

”Lalu bagaimana dengan orang-orang miskin itu ustadz? Apakah mereka juga harus berpuasa? Bukankah mereka ini sudah sering menahan lapar? Apakah puasa juga berlaku untruk mereka?” tanyaku untuk memenuhi dahaga rasa ingin tahuku. Ustadznya agak sedikit mengehela napas, mungkin saja pertanyaan ini cukup merepotkannya. Beliau kemudian menjawab, Puasa itu diperuntukkan bagi segenap orang-orang yang merasa beriman dari setiap lapisan sosial. Bagi orang miskin, puasa adalah proses merubah cara pandang mereka terhadap lapar. Kalau selama ini mereka menganggap lapar sebagai buah dari ketidakberuntungan nasib, maka kini mereka dapat meningkatkan derajat lapar mereka menjadi lapar yang berdimensi transendensi. Lapar justru merupakan instrumen untuk melepaskan diri dari ketergantungan dominasi raga atas jiwa. Sehingga kita bisa lebih merasakan nikmatnya bercinta dengan Tuhan.

”Tidak adil dong, ustadz!” gumamku dalam hati. Meskipun waktu itu aku belum memiliki alasan yang mentereng untuk mengungkapkan ketidakadilan tersebut. Menurutku, seharusnya ustadzku tadi menambahkan, setelah bercinta dengan Tuhan, maka orang miskin tersebut akan memiliki energi ekstra untuk menuntut hak-hak mereka yang dititipkan kepada orang kaya. Mereka akan menyuarakan dengan lantang perlawanan terhadap ketidakadilan, karena distribusi kekayaan yang adil merupakan refleksi nilai Tauhid di muka bumi. Mereka menuntut bukan demi pemuasan kebutuhan ragawi belaka, namun mereka bersuara karena dengan tidak memberi makan kepada mereka (orang miskin) sama artinya mereka menghina Sang Kekasih yang sekadar menitipkan harta-Nya kepada para orang kaya tersebut. Perlawanan ini adalah pergolakan spiritual.

Di tengah himpitan arus kapitalisasi agama, sudah saatnya Ramadhan menjadi momentum untuk melecut kesadaran perlawanan. Menyambut Ramadhan ada pesan perlawanan yang mudah-mudahan bisa menjadi pelecut kesadaran kita bersama: “barang siapa yang pengeluaran konsumsi pribadinya semakin besar di Bulan Ramadhan berarti ia telah melakukan KORUPSI SPIRITUALITAS. Bukankah Ramadhan adalah ruang penempaan untuk mengekang hawa nafsu? Kenapa nafsu konsumtif tidak mereka kendalikan? Manakala selama Ramadhan justru kita semakin mempertontonkan ”kelebihan” bukannya membagikan kepada yang berhak dan tidak memposisikan ritual Ramadhan sebagai ruang pembentukan karakter zuhud, berati kita telah terjerembab ke dalam KORUPSI SPIRITUALITAS.

Ramadhan seharusnya merupakan wahana untuk meningkatkan maqam spiritualitas. Ramadhan seyogyanya merupakan ruang penjernihan God Spot. Ramadhan adalah proses pearkhidmatan kepada sesama. Ramadhan adalah rem atas nafsu konsumsi. Ramadhan adalah ruang refleksi setelah berkubang dalam aktivisme selama 11 bulan. Ramadhan adalah waktu untuk melakukan perencanaan strategis kehambaan dan kekhalifahan.

Wallahu A’lam

Ta’mirul Masajid, 29 Agustus 2008

BELAJAR DARI JALALUDDIN RUMI

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;

"Kepada Nya, kita semua akan kembali"


Apa Yang mesti Ku lakukan

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu"
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.



Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."



Salam Transformasi