Minggu, 31 Mei 2009

Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?

Oleh: Hadisaputra

"Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan,"

Partai Politik. Kata yang sangat sering didengung-dengungkan pasca reformasi. Kadang dengungannya sangat memekakkan telinga. Dalam satu tahun terakhir, huru-hara parpol ini sebenarnya telah mulai ditabuh sejak masa verifikasi parpol di Dephukham dan KPU. Setidaknya ada beragam alasan yang membuat orang masih selalu tertarik untuk membentuk parpol. Ada yang berkeinginan merealisasikan idealisme politik kelompoknya, karena tak pernah terwadahi oleh partai yang pernah ada sebelumnya. Dengan kata, para pendiri Parpol baru itu tak mempercayai lagi Parpol yang sudah ada.
Mungkin ada pula yang memiliki misi bisnis. Artinya, seperti tradisi dalam Pemilu yang sudah berlalu, para petinggi Parpol itu ingin meraup keuntungan finansial baik dari Negara (bantuan Pemerintah terhadap Parpol) maupun para kader simpatisannya (Iuran Kader ataupun sumbangan lainnya). Disamping itu saya juga yakin bahwa ada yang berambisi menjadi "para koruptor" dengan memanfaatkan momen Pemilu yang ada.
Akhirnya Pemilu legislative baru saja usai, Parpol lama dan parpol baru baru saja berjibaku dengan kompetisi yang sangat sengit. Meskipun hasilnya baru bisa diketahui secara resmi Bulan Mei mendatang, setidaknya hasil Quick Count beberapa lembaga survey dan perhitungan sementara KPU menempatkan 9 parpol yang berhasil menuju senayan. Tapi ada fakta yang lebih mencengangkan, yakni kemenangan golput, yang diperkirakan mencapai angka 30%. Orang bisa saja berspekulasi bahwa sebagian besar golput itu adalah golput teknis. Karena DPT sebagian besar bermasalah, ada nama ganda atau telah meninggal dunia. Ataupun karena tidak mendapatkan undangan memilih. Jumlah itu belum termasuk golput yang tidak tercantum dalam DPT.
Hasil Quick Count Lembaga Survey Indonesia menegaskan kemenangan golput atas Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, masing-masing 20,29 %, 14,77 %, dan 14,28 %. Bila golput turut dihitung sebagai suara kontestan Pemilu, maka Partai Demokrat hanya meraih 14 %, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an %. Kemenangan golput ini membuat saya berspekulasi bahwa mungkin saja sebagian besar rakyat Indonesia sudah tak percaya lagi terhadap Partai Politik. Lalu pertanyaan terbersit secara spontan dalam benakku adalah mungkinkah ada negara demokrasi tanpa partai politik?

Fungsi Partai Politik
Sebenarnya kenapa sih harus ada partai politik? Bukankah kalau sekadar berperan sebagai kendaraan politik bagi para caleg, parpol ini terkesan mubazir. Bukankah fakta di lapangan justru menunjukkan mesin politik partai tidak terlalu signifikan perannya dalam meloloskan sang caleg meuju parlemen?
Miriam Budiarjo pernah merumuskan fungsi partai politik sebagai berikut: Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat sesuai dengan norma, nilai dan cita-cita sebuah bangsa. Peran partai diharapkan memupuk identitas dan integritas nasional. Kedua, Komunikasi politik, yaitu melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Partai berperan sebagai corong Negara kepada masayarakat sekaligus corong masyarakat kepada Negara. Sebagai corong masyarakat, setidaknya Partai harus melakukan proses interest aggregation (Penggabungan Kepentingan) dan interest articulation (perumusan kepentingan), setelah itu tugas partai adalah memperjuangkannya kepada pemerintah agar dijadikan Public Policy (Kebijaksanaan Umum).
Ketiga,rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Sehingga partai berperan untuk memperluas partisipasi public dalam kegiatan politik. Sehingga partai turut berperan dalam selection of leadership (Regenerasi kepemimpinan politik). Keempat, parpol sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management). Partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari pengendalian perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok.
Realitas Partai Politik
Sekiranya kita menggunakan pandangan diatas untuk mengukur kiprah partai politik di Indonesia maka kita akan menemukan realitas yang bertolak belakang. Pertama peran Sosialisasi Politik, belakangan lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Politik. Jangankan melakukan pencerdasan politik kepada rakyat, parpol malah melakukan pembodohan politik terhadap rakyat. Mendidik masyarakat untuk memutuskan pilihan-pilihan politiknya dengan pendekatan praktik demokrasi transaksional (money politik) , baik terhadap pemilih, maupun dengan penyelenggara pemilu. Jauh dari instrumen pencerdasan bangsa, malah mengkerdilkan mentalitas anak bangsa. Betapa tidak kita menjadi bangsa inlander (bermental budak), ketika parpol mendidik masyarakat untuk menjadi pengemis. Kehilangan harga diri mereka sebagai pemegang kedaulatan bangsa.
Semakin jauh timba dari sumur manakala kita ingin membincang peran parpol dalam memupuk identitas nasional. Justru kehadiran parpol malah menyuburkan sikap eksklusif dan mengkotak-kotakkan masyarakat dalam identitas-identitas partai. Identitas-identitas simbolik yang kadang mengkhianati visi berbangsa kita.
Kiprah partai politik sebagai instrument komunikasi politik juga tersumbat. Bukannya mengartikulasikan harapan dan kepentingan rakyat kepada Negara, malah mencari celah agar bisa mengartikulasikan kepentingan pragmatis personal elit partai, atau kepentingan sempit kelompok. Belum lagi partai lebih disibukkan dengan konflik-konflik internalnya. Sehingga jangankan memfasilitasi komunikasi rakyat dengan Negara, komunikasi internal partai pun mampat. Jadilah rakyat bingung harus mengadu kemana. Mengadu langsung ke Rumah Rakyat (Kantor DPR), mereka hanya berhadapan dengan birokrasi berbelit dan administratif. Jika mereka menuntut haknya dengan sedikit lantang, maka mereka akan berhadapan dengan pentungan aparat. Mengadu ke partai pun tak bisa. Soalnya Sekretariat Partai biasanya hanya diisi oleh bujang kantor alias penjaga kantor yang terkadang merangkap sebagai cleaning service. Pimpinan Partai kadang sibuk sendiri dengan komunikasi politik oportunis dari café ke café, hotel ke hotel, entah mereka membicarakan tentang apa. Namun yang pasti mereka melakukannya “atas nama rakyat”.
Rekrutmen Politik oleh parpol pun tak berjalan. Departemen Kaderisasi Partai tak sebergairah Badan Pemenangan Pemilu. Kaderisasi di partai-partai seolah sekadar formalitas yang tak berkualitas, itupun masih untung kalau masih ada kaderisasi yang sifatnya formalitas. Wajarlah kalau setiap menjelang Pemilu atau Pilkada seolah Partai seolah berebut tokoh-tokoh masyarakat (lebih tepatnya “tokoh berduit”) untuk dijadikan caleg atau calon kepada daerah. Partai telah gagal memainkan perannya sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin bangsa. Syukurlah masih ada kaderisasi kepemimpinan di tingkat Ormas, Ornop ataupun lembaga kultral masyarakat lainnya. Itu pun sudah sangat terbatas stoknya. Akhirnya secara simplistic criteria calon-calon pemimpin itu disingkat kedalam satu pasal saja, memiliki pundi-pundi rupiah.
“Partai sebagai peredam konflik?” Ini pertanyaan yang bernada ironi. Bukankah realitasnya adalah penyulut konflik di tengah masyarakat justru partai politik. Biasanya sebelum Pemilu/Pilkada ada penandatanganan pernyataan siap menag-siap kalah. Sayangnya setiap partai hanya siap menang, sehingga celah sebesar lubang jarum pun digunakan sebagai godam penyulut konflik. Kasus yang lagi hangat beberapa hari terakhir adalah kisruh DPT. Menarik menyimak Analisis Politik Eep Saifullah Fatah (Kompas/14/04), kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahan membabi buta. Adalah tak bertanggung jawab menyamarkan ketidaksiapan kalah di balik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.
Negara Tanpa Parpol, mungkinkah?
Harus jujur saya akui bahwa saya belum menemukan jalan lain, jalan yang mungkin lebih baik dibanding berdemokrasi dengan kendaraan partai politik. Namun saya sangat yakin bahwa jalan itu pasti ada. Daripada terus ditelikung dengan kejumudan demokrasi warisan. Secara matematis, kalau negara tanpa parpol negara tetap berjalan, sebaliknya negara tanpa warga negara maka negara tidak akan berjalan. Saya yakin suatu saat nanti warga negara akan memberikan pilihan kepada negara; “Pilih saya atau parpol?”.

Kalau Anggota DPD, atau calon Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) bisa berasal dari calon independen, kenapa tidak para anggota DPR/DPRD bisa juga berasal dari calon independen. Bahkan saya sangat mengimpikan Parpol digusur dari tatanan proses berdemokrasi kita. Saya sudah sangat muak dengan kepalsuan yang dijajakan parpol. Kalau judul tulisan ini adalah pertanyaan, maka di ujung tulisan ini saya masih ingin menegaskan pertanyaan itu: “Negara tanpa Partai Politik, Mungkinkah?”

Ada apa dengan Facebook? (2)

Dalam tulisan sebelumnya “Ada Apa dengan Facebook? (1)” , penulis telah menguraikan sejumlah argumentasi kenapa jutaan orang keranjingan facebook. Tulisan lanjutan ini akan mencoba mengelaborasi efek negatif facebook. Hal ini menjadi penting karena sejak kehadirannya sejak tahun 2004, facebook telah menjadi salah satu variabel yang berpengaruh dalam kehidupan kurang lebih 200 juta orang.
Saya ingin mengawali refleksi ini dengan mengutip pernyataan John Naisbit dalam High Tech-High Touch (1999): “Kebisingan teknologi, baik secara harfiah maupun secara kiasan, dapat benar-benar mengucilkan manusia dari sesamanya, dari alam dan dari diri kita sendiri. Teknologi dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional, serta merenggut kita dari kehidupan kita sendiri. Apakah keterkucilan merupakan manfaat yang diberikan teknologi?”. Pernyataan Naisbit menjadi relevan untuk dihubungkan dengan kehidupan para facebooker yang rela menghabiskan waktunya berjam-jam di depan layar komputer untuk berselancar di dunia facebook. Mereka tak lagi menyisakan ruang untuk bersosialisasi melalui human-touch, seakan pertemuan di dunia maya telah mampu melepaskan kerinduan akan sahabat dan keluarga. Berjabat tangan, melihat ekspresi mereka secara langsung, ataupun melepaskan dahaga kerinduan secara langsung menjadi tak lagi relevan.
Seorang teman mahasiswa pernah berbagi perasaan ketergantungannya terhadap facebook. Dulu ketika ia belum punya laptop hampir setiap hari ia menyisihkan uang jajannya untuk berpetualang di dunia facebook melalui warnet. Karena keterbatasan isi dompet, ia dengan terpaksa harus rela untuk meninggalkan warnet setelah berpetualang selama 1-2 jam. Itupun ia sudah harus melakukan penghematan terhadap alokasi budget pengeluaran lainnya. Kini setelah memiliki laptop, memang ia sudah dapat sedikit menghemat uang jajannya. Untuk berselancar di dunia maya, ia hanya perlu mencari lokasi yang memiliki fasilitas hotspot di sekitar area kampus. Namun kini ia bisa menghabiskan waktu seharian di depan laptop, paling jeda untuk sekadar mengisi perut.
Facebook betul-betul telah membuatnya ketagihan. Sehari tanpa facebook, maka dunia akan terasa hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya, bahkan membuatnya sakit kepala. Persis orang yang sedang kecanduan rokok. Bahkan ketika telah meninggalkan lokasi kampus pun, ia sampai harus mencari warkop atau kafe yang menyediakan fasilitas hotspot. Sungguh facebook telah menjadi kebutuhan primer baginya.
Kisah lainnya yang serupa saya baca melalui surat kabar beberapa minggu lalu. Ada seorang karyawan di korea selatan yang harus rela kehilangan pekerjaannya akibat ia menderita penyakit ketagihan facebook. Banyak pekerjaannya yang terbengkalai. Sampai-sampai ia harus rela berbohong bahwa ia sedang sakit, agar ia diberi kesempatan istirahat sambil bermain facebook melalui layar telepon selularnya. Malang nasibnya, ia ketahuan. Akhirnya ia pun dipecat.
Kisah-kisah tersebut seirama dengan istilah “Zona Mabuk Teknologi” (ZMT) yang diperkenalkan Naisbit. ZMT yaitu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan sering kali bertentangan antara teknologi dan percarian kita akan makna. Terdapat 6 gejala ZMT yaitu: (1) Kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, (2) Kita takut sekaligus memuja teknologi, (3) Kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, (4) Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, (5) kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan dan (6) Kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
Gejala ZMT yang pertama (penyelesaian maslah secara kilat) dapat kita temukan dalam kecendrungan warga facebooker untuk mensubstitusi bentuk silaturahmi “face-to-face” menjadi silaturahmi “Facebook”. Gejala kedua (Takut sekaligus memuja teknologi), dapat kita temukan pada ketakutan kita tidak mengikuti perkembangan yang ada di dunia facebook. Seolah kita telah berubah menjadi manusia purba kalau terlambat mengupdate perkembangan terbaru. Kita begitu memuja dan mengagung-agungkan facebook dalam mempermudah hidup kita. Betulkah demikian? Bukankah facebook justru telah memperbudak kita, menyita ruang-ruang pergulatan maknawiyah kita?
Gejala ZMT ketiga (Mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu), di dunia facebook jangan kira kita pasti bertemu dengan orang-orang yang memberikan informasi yang sesungguhnya. Saya pernah diberitahu seorang teman facebooker, bahwa ia memiliki beberapa identitas samaran di dunia facebook. Ia telah mengkreasikan kehidupan imajiner bagi setiap identitas samarannya. Kita akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi teman-teman facebook kita, apakah ia teman yang nyata atau ia cuma teman imajiner yang diciptakan oleh orang yang iseng.
ZMT yang keempat (Kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar), dapat ditemukan pada berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam facebook. Kekerasan dapat berupa komentar-komentar kasar di “Wall”, ataupun melakukan pembusukan karakter (ghibah) melalui Group tertentu. Hal ini dapat kita lihat dalam pembusukan karakter terhadap tokoh/kelompok tertentu yang dilakukan secara vulgar di dunia facebook. Orang tak lagi merasa risih untuk bergabung dalam grup-grup seperti itu adalah merupakan pertanda bahwa kita telah menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
Bentuk ZMT selanjutnya adalah kita mencintai teknologi dalam bentuk mainan. Facebook telah kita posisikan sebagai taman bermain dan rehat atas rutinitas keseharian yang menjemukan. Sebenarnya dalam makna harfiah sekalipun, memang facebook menyediakan banyak fasilitas permainan online. Bahkan kita bisa bermain kartu atau bermain perang-perangan dari orang dari belahan benua yang berbeda.
Bentuk ZMT yang terakhir adalah “kehidupan yang berjarak dan terenggut”. Berapa tidak, facebook telah menyandera waktu-waktu produktif bahkan waktu senggang kita. Padahal waktu senggang adalah ruang bagi kita untuk mempertanyakan makna dan tujuan hidup. Waktu senggang memerlukan ketenangan, kesabaran dan sikap penuh perhatian dan hati yang terbuka. Kesenyapan menyuburkan pikiran, perenungan mengembangkan kebijaksanaan, mendengarkan menghasilkan kemanusiaan. Manakala tidak ada kesenyapan, tidak akan ada ruang untuk berpikir. Kita sudah begitu terbiasa dengan kebisingan, sehingga kita tidak lagi terganggu olehnya papar Naisbit.
Facebook telah merenggut kemampuan kita untuk melakukan refleksi. Setiap saat facebooker menerima informasi baik melalui “wall”nya ataupun “wall” orang lain. Itu belum termasuk surat/info yang masuk melalui “Inbox” (Biasanya dikirim dari grup-grup/komunitas yang kita ikuti di facebook). Saking banyaknya informasi itu sehingga membuat kita tak punya waktu untuk mencerna informasi tersebut lalu memberikan respon yang tepat. Serangan informasi yang bertubi-tubi itu tak memberi kita ruang untuk bernalar secara jernih, berempati secara tulus, dan bertindak tepat untuk menyikapinya.
Bombardir informasi itu membuat kita menjadi termekanisasi seperti mesin. Kita menerima stimulus yang maha besar dan dan harus memberikan respon dengan maha cepat. Bisa dibayangkan jika dalam waktu bersamaan ada teman facebooker kita yang mengirimkan berita duka kematian sahabat terdekat kita, lalu ada pula info undangan perayaan pernikahan handaitaulan kita, ada info teman yang sakit, ada rencana reunian, dll. Belum lagi kalau pada saat bersamaan ada teman yang ingin ingin berbagi masalah atau menyatakan perasaan cintanya melalui “chatroom”. Kita menjadi bingung bagaimana mengelola emosi kita secara tepat. Kita menjadi gamang untuk memutuskan apakah kita seharusnya bersedih, bergembira, atau haru. Semuanya tercampur aduk menjadi satu. Akhirnya kita tidak bisa berempati secara tulus kepada yang berduka dan merasakan kebahagiaan secara wajar.
Kebisingan dunia facebook yang telah menghilangkan kemampuan refleksi kita selanjutnya membuat pola relasi pertemanan kita dengan sesama facebooker menjadi semakin dangkal, kita semakin kehilangan kepekaan. Gejolak kerinduan pada teman-teman sebangku di masa kuliah dulu telah dihanguskan oleh facebook. Kini kerinduan itu telah berwujud berupa sekadar tegur sapa mekanistik.
Bisa dibayangkan kalau ini berlangsung setiap hari, kapasitas kemanusiaan kita akan terdegradasi menjadi sekadar kemampuan menanggapi sekadarnya bagai mesin penjawab. Jangan heran, ketika kemampuan refleksi itu hilang, maka suatu saat nanti kita akan merasakan kehampaan hidup, mungkin bisa jadi depresi, gila bahkan bunuh diri.
Akhirnya selamat memasuki “zona mabuk facebook!”. Sebuah zona yang akan mengeliminasi harkat kemanusiaan kita, sebuah zona yang akan meluruhkan pelangi kemanusiaan kita. Sebentar lagi kita betul-betul telah menjadi ‘robot’, yang lebih rendah dari binatang. Sebab binatang masih bisa merasakan nuansa emosi instingtif, sementara kita menjadi manusia menjadi makhluk yang tuna nalar dan emosi. Layakkah kita menyandang gelar sebagai “binatang facebook”? ***

Ada apa dengan Facebook? (1)

ADA APA DENGAN FACEBOOK?
(Antara Fatwa dan Kebutuhan Manusiawi)
Oleh: Hadisaputra
Direktur Alkemis Institute

“I want to spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone.
One to One. Always. Forever. Now.” (Damien Hirst)
Ungkapan diatas sangat sempurna untuk menggambarkan ketergantungan manusia modern terhadap Internet. Internet penuh dengan jutaan rumah-maya pribadi, orang-orang berbagi kehidupan p ribadinya dengan banyak orang, di setiap tempat, sekarang dan selamanya. Salah satu situs jejaring sosial yang kini telah beranggotakan lebih dari 200 juta orang adalah Facebook.
Facebook adalah situs jaringan sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk perguruan tinggi lain, sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan dengan alamat surat-elektronik apa pun dapat mendaftar di Facebook.
Beberapa hari ini berkembang kontroversi seputar hukum Facebook beredar setelah Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim yang terdiri atas delegasi santri putri mengharamkan penggunaan jejaring sosial, seperti Facebook jika digunakan secara berlebihan (Kompas.com/22/05).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai atau menghakimi Facebook. Sebagaimana ungkapan filsuf Spinoza “Jangan menilai, jangan menghakimi, dan jangan mengikuti, namun harus mengerti dan harus memahami”. Penulis berupaya untuk mengerti dan memahami. Oleh karena itu penulis berupaya melakukan eksplorasi empatetik terhadap ratusan juta orang yang keranjingan Facebook..
Facebook Memanusiakan Manusia
Dalam sebuah obrolan di chatroom Facebook, seorang teman mengajukan pertanyaan yang menggelitik “Apa yang membuat ratusan juta orang keranjingan Facebook?” Waktu itu saya menegaskan bahwa jawaban saya mewakili diri sendiri, sebab saya merasa tidak berhak mewakili jutaan facebooker (Pengguna facebook) lainnya. Apalagi saya belum pernah membaca buku atau hasil penelitian yang menjawab pertanyaan tersebut.
Seingat saya, waktu itu saya memberikan beberapa jawaban. Pertama, Facebook membuka kotak pandora kenangan masa lalu para facebooker. Betapa tidak melalui Facebook, kita bisa bertemu kembali dengan kawan-kawan lama. Baik teman sekampung, saudara/keluarga yang nun jauh disana ataupun teman-teman seangkatan di bangku SD, SMP, SMA atau Perguruan tinggi. Seolah kita sedang memutar jarum jam. Mengennag kembali memori-memori yang telah lalu, baik yang indah, lucu maupun menjengkelkan. Kita dapat mengenang kembali saat-saat bermain, kenagan lama bersama pacar ‘cinta monyet di SMP, atau teman seperjuangan waktu masih terlibat di gerakan mahasiswa.
Ada yang bilang bahwa biasanya orang-orang yang senang membincang atau mengenang masa lalu adalkah orang-orang yang tidak bahagia di masa sekarang ataupun tidak optimis menatap hari esok. Pernyataan ini mungkin ada benarnya, tapi bisa juga berarti orang yang senang membincang masa lalu sebagai tanda kesyukuran atas kehidupan yang sekarang. Merka menganggap rangkaian mozaik-mozaik masa lalu itulah yang telah menyempurnakan keindahan mozaik hidupnya hari ini. Sekaligus merangkai masa lalu sebagai cermin untuk merangkai hari esok.
Jawabanku yang kedua, Facebook juga telah menjadi instrumean alternatif untuk merekatkan hubungan silaturahmi antar keluarga/sahabat yang mungkin kendor akibat padatnya aktivitas keseharian. Apalagi saat ini hampir semua perkantoran, baik lembaga pemerintah maupun swasta, memiliki akses internet. Seorang pegawai/karyawan bisa berkomunikasi dengan keluarga/sahabat di tempat lain sembari menyelesaikan pekerjaan kantornya. Facebook adalah jawaban atas individuasi masyarakat modern. Facebook seolah menjadi antitesis bahwa manusia modern juga tak dapat lepas dari takdirnya sebagai zoon politicon.
Jawaban ketiga, Facebook juga bisa menjadi wadah untuk mencari teman baru, yang memiliki hoby ataupun pandangan hidup yang sama. Dalam form data diri yang disediakan oleh facebook, ada pertanyaan alasan bergabung. Disitu disediakan beberapa alternatif jawaban. Misalnya, alasan Friendship (Mencari teman), relationship (pacar), network (jaringan). Seolah facebook ingin menegaskan dan membenarkan teori David McClelland (1961) bahwa motivasi manusia didorong oleh 3 kebutuhan utama. Yakni Need for Achievement (Kebutuhan untuk berprestasi) , Need for Power (Kebutuhan akan kekuasaan) dan Need for Affiliation.(Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain).
Facebook setidaknya merupakan jawaban atas Need for Affiliation. Disamping itu Facebook juga menjadi instrumen pendukung bagi Need for Power (setidaknya digunakan sebagai alat kampanye gratis bagi para politisi). Dalam hubungannya dengan Need for Achievement, melalui jaringan Facebook terjadai pertukaran informasi seputar literatur ataupun informasi beasiswa.
Hal yang menarik terkai dengan relasi antara Facebook dan Need for Power dapat dilihat dari fenomena kemenangan Barrack Obama, yang menurut sejumlah pengamat disebabkan oleh kemampuan beliau untuk memaksimalkan teknologi informasi termasuk memberdayakan para Facebooker. Fenomena terakhir adalah pemblokiran jaringan Facebook jelang Pilpres Iran. Menurut sumber Kompas.com, alasan pemblokiran adalah karena para pendukung Hussein Mousavi (Capres dari kubu reformis) menggunakan situs jaringan sosial itu dengan lebih baik untuk menyebarluaskankan posisi Mousavi. Mousavi memiliki 5.000 lebih pendukung yang bergabung dengan halaman Facebook-nya, yang antara lain berisi kritik atas pemerintahan saat ini yang dianggap tidak menghargai warga Iran di seluruh dunia. Terlepas dari kontroversi dan alasan pemblokiran, setidaknya warga dunia semakin meyadari bahwa facebook adalah ruang sosialisasi politik yang cukup efektif.
Jawaban keempat, saya menukil teori piramida kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow. Maslow memperkenalkan 5 jenis kebutuhan manusia secara berjenjang. Di tingkat yang paling dasar, ada Physiological Needs (kebutuhan fisik = biologis) yaitu kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, udara, perumahan dan lain-lainnya. Kebutuhan di level selanjutnya adalah Safety and Security needs (keamanan dan keselamatan) adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman. Pada level ketiga, ada Affiliation or Acceptance Needs adalah kebutuhan sosial, teman, dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan kelompok. Level selanjutnya adalah Esteem or Status or Egoistic Needs (kebutuhan akan penghargaan diri), kebutuhan akan pengakuan serta penghargaan dari orang lain. Di puncak pioramida (level kelima), ada kebutuhan Self Actuallization, adalah kebutuhan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi yang luar biasa yang sulit dicapai orang lain.
Dari kelima jenis kebutuhan ini, 3 jenis kebutuah teratas, yakni Affiliation or Acceptance Needs (Kebutuhan Sosial/Cinta), Esteem or Status or Egoistic Needs (kebutuhan akan penghargaan diri) dan Self Actuallization (aktualisasi diri) dapat diperoleh dengan menjadi warga facebook. Facebooker bisa menemukan rasa kasih sayang dan perhatian dari sesama facebooker. Facebook juga menyediakan beragam fasilitas untuk mengungkapkan perhatian dan rasa kasih sayang. Baik berupa ucapan dinding, ucapan selamat ulang tahun ataupun simbol-simbol ungkapan kasih sayang.
Kebutuhan akan penghargaan juga bisa ditemukan lewat apresiasi atas buah pikiran yang kita lontarkan melalui Facebook. Facebook juga memenuhi dahaga aktualisasi diri kita dengan multi fasilitas. Orang bisa beraktulisai diri dengan membuat tulisan di “Notes”, memamerkan foto-foto aktivitas, atau berqaktualisasi diri dengan membantu orang lain dengan memberikan informasi-informasi penting dengan menggunakan “Links”. Aktualisasi diri dapat pula berupa memperjuangkan isu kebijakan publik dengan membentuk “Groups” untuk menggalang simpati publik.
Jawaban terakhir, atau jawaban kelima saya adalah orang bisa lebih “merdeka” di dunia Facebook dibanding di dunia nyata. Terkadang ada orang di dunia nyata adalah orang yang kuper dan pendiam. Namun di dunia facebook kita bisa menemukannya sebagai orang yang cukup cerewet. Kita bisa menemukan komentar-komentar di “dindingnya” atau “obrolan-obrolannya “ yang cukup gaul dan jauh dari kesan kuper. Apakah Facebook juga telah menjadi alat terapi yang cukup efektif bagi mereka? Entahlah, mungkin para psikolog perlu menelitinya lebih lanjut.
Mungkin saja patron-patron dunia nyata begitu menelikung mereka, sehingga dalam dunia nyata mereka harus bertopeng, tidak mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya. Atau bisa pula sebaliknya dunia maya telah memberi ruang bagi pelepasan hasrat, atau “Id” dalam istilah Freud, “Libidoshopy” dalam tulisan Yasraf.
Sekadar Refleksi
Saya juga tidak ingin “menilai dan menghakimi” fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan jejaring sosial seperti "facebook" secara berlebihan. Jangan sampai telinga kita memang lebih sensitif mendengar kata “fatwa” dibanding mendengarkar argumentasi para ulama secara holistik. Bukankah beliau-beliau menekankan kata “berlebihan”.
Mungkin pola relasi ulama dan ummat bukan lagi pola relasi “patron-client”. Ummat tak lagi belajar Islam melulu dari para ulama. Ummat bisa belajar langsung dari buku, internet, ataupun seminar. Ulama tak lagi sepenuhnya menjadi rujukan dalam menjelaskan dunia. Meskipun demikian, kita harus tetap memberikan ruang untuik mendengarkan argumentasi mereka pendekatan nalar objektif.
Kalau, kita tak lagi acuh pada fatwa, setidaknya mari kita dengarkan suara nurani kita. Mari kita menjawab pertanyaan-pertanyan ini di nurani kita masing-masing. Apakah kita tidak sedang kecanduan facebook? Betulkah tidak ada kewajiban yang kita lalaikan akibat kecanduan tersebut? Apakah facebook telah masih menyisakan kita ruang untuk mempertanyakan makna dan tujuan hidup? Apakah facebook telah menghilangkan silaturahmi human-touch kita? Betulkah kita sudah merasa cukup untuk melepaskan kerinduan pada keluarga dan sahabat kita hanya berhadapan dengan layar komputer/hp? ***

Jumat, 22 Mei 2009

Kekerasan dalam Ujian Nasional

Tahun 2009 ini memang lebih dikenang orang sebagai tahun Pemilu, Hampir setiap mata dan telinga pemerhati bangsa ini mungkin larut mengamati hiruk-pikuk manuver politik para elit pasca pemilu legislative 9 april kemarin. Termasuk membincang tema kekerasan, maka hampir semua pengamat akan memfokuskan pengamatannya pada potensi kekerasan dalam Pemilu. Khususnya kekerasan yang mungkin timbul oleh partai atau caleg yang kalah.

Namun ternyata beberapa hari kedepan bukan cuma detik-detik yang menentukan bagi para caleg. Melainkan juga 3.567.472 siswa SMA/SMK/MA juga akan mengadu keberhasilan belajar mereka selama 3 tahun sejak 20 sampai 24 April 2009. Dengan menggunakan data diatas, paling tidak ada sekitar 3 jutaan korban kekerasan dalam pelaksanaan Ujian tahun 2009, data itu belum termasuk tingkat SMP dan SD serta korban tambahan lainnya. Sebab menurut saya Ujian Nasional adalah bunker kekerasan terhadap siswa. Kenapa saya mengambil kesimpulan tersebut? Saya mencoba menghadirkan John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian dengan Teori Kekerasannya.

Definisi Kekerasan

Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang
terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Tiga bentuk kekerasan

Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"—kekerasan langsung, struktural, dan cultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya. Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara budaya. Sedangkan kekerasan structural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut "Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain. Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi peredaman kekerasan langsung maupun struktural.

Kekerasan Struktural

Dengan menggunakan teori Galtung, saya berkesimpulan bahwa ketiga bentuk kekerasan (Structural Violence, Direct Violence dan Cultural Violence) ini terjadi dalam Ujian Nasional (UN). Dalam kasus UN Kekerasan dimulai dengan kekerasan structural. Negara atas nama standarisasi mutu Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan Ujian Nasional. UN inilah yang menjadi variabel utama penentu kelulusan siswa. Kekerasan structural dapat kita temukan dalam marjinalisasi mata pelajaran non UN. Seolah mata pelajaran tersebut sekadar pengisi waktu dalam dunia sekolah. Siswa yang merasa dirinya lebih berpotensi di bidang Olahraga atau kesenian harus menerima fakta bahwa pelajaran favorit mereka tidak diujikan di Ujian Nasional. Mereka harus belajar ekstra agar dapat menguasai materi-materi pelajaran “emas” UN. Efeknya tentu saja mudah ditebak, potensi unik/kelebihan siswa selain minat pada materi UN akan cenderung tidak diberi ruang.

Disamping itu proses belajar mengajar yang dialektis dan berdimensi nilai terkesan diabaikan. Jadilah sekolah sekadar menjadi lembaga bimbingan belajar untuk mengikuti Ujian Nasional. Proses Belajar dibuat lebih instan dan terfokus pada kemampuan menjawab soal-soal yang sering muncul dalam UN.

Guru pun tetntu saja akan menjadi korban kekerasan structural ini. Guru kehilangan perannya sebagai pendidik. Mereka harus mampu berakselerasi dengan system yang dibuat oleh Pemerintah. Tak ada lagi istilah mengajar secara kreatif dan imajinatif di depan siswa. Inovasi mengajar para guru dibonsai atas nama program “Sukses UN”. Ceramah tentang moral dan etika menjadi tidak relevan lagi, sebab indicator kesuksesan anak selama 3 tahun ditentukan oleh kemamuan menjawab soal. Daripada membuang waktu percuma, para guru pun berlomba untuk mensabdakan soal-soal Ujian yang sering muncul di UN.

Hal yang lebih memilukan terkait dengan fenomena Ujian Nasional tahun lalu, ketika beberapa orang guru harus berurusan dengan polisi karena dituduh membocorkan soal Ujian Nasional. Meski tindakan ini bukanlah tindakan terpuji, setidaknya hal itu mereka lakukan atas nama sikap “keorangtuaan” yang tidak ingin melihat anak didik mereka gamang menatap masa depan. Tidakkah ini menjadi bukti cukup bahwa korban kekerasan bukan cuma para siswa, bapak dan ibu “pahlawan tanpa tanda jasa” pun harus jadi korban tragedy Ujian Nasional.

Padahal pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Hal itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat. Ki Hajar Dewantara dulu pernah mewasiatkan agar pendidikan berorientasi menumbuhkan mentalitas merdeka bagi anak bangsa. Bukan mentalitas kuli pasar sebagaimana dianut oleh dunia pendidikan nasional hari ini.

Sehingga ketika membincang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh ujian nasional melainkan terletak pada paradigma pendidikan yang kita anut. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Betapa absurdnya mengukur keberhasilan pendidikan nasional dengan instrument Ujian Nasional.

Kekerasan Langsung

Kekerasan langsung (Direct Violence) terjadi pada siswa peserta Ujian Nasional. Kekerasan diawali dengan persiapan super ekstra yang menyita energy dan waktu dalam menghadapi Ujian Nasional. Betapa tidak, proses belajar di kelas yang semakin diporsir dengan jam pelajaran tambahan. Belum lagi bagi mereka yang berkocek tebal merasa wajib hukumnya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah. Di rumah, orang tua mereka pasti juga ingin terlibat menjadi mandor pengawas apakah sang anak belajar atau tidak. Di usia yang sangat belia mereka telah menjadi korban kekerasan berlapis.

Kekerasan langsung dapat pula berbentuk teror mental yang sering diulang-ulang dalam setiap petuah pembina upacara ataupun walikelas tentang “monster” standar nilai rata-rata minimal kelulusan dalam Ujian Nasional, yang sekarang sudah mencapai 5,5. Nilai meningkat dari standar kelulusan tahun lalu yang mempersyaratkan nilai rata-rata minimal 5,25. Fase kekerasan selanjutnya adalah pasca pelaksanaan Ujian Nasional. Apalagi jika terdapat siswa yang tidak lulus, bisa saja ada di anatara siswa yang mengalami goncangan jiwa yang berat. Seolah mereka tak punya masa depan lagi, sebagaimana propaganda yang sering mereka dapatkan di sekolah ataupun di Bimbingan Belajar.

Kekerasan Kultural

Bentuk kekerasan ketiga adalah kekerasan kultural. Bentuk kekerasan ini dapat berupa keterlibatan semua orang untuk menciptakan atmosfer yang menakut-nakuti siswa untuk senantiasa mempersiapkan pelaksanaan Ujian Nasional. Secara tidak sadar masyarakat juga mereproduksi ketakutan ini kea lam bawah sadar mereka. Mereka telah menjadi agen spionase Negara untuk memancung siswa yang dianggap malas/santai menghadapi monster Ujian Nasional. Petuah-petuah “Hati-hatiko belajar nak, kalau tidak lulusko rusak masa depanmu” tidak hanya diucap oleh Bapak-Ibu Guru di sekolah tapi juga oleh Kakek-Nenek di Kampung. Manakala kita turut membenarkan dan turut mereproduksi ketakutan terhadap Ujian Nasional berarti kita turut serta menyuburkan kekerasan Kultural.

Penutup

Sikap pemerintah yang bebal terhadap kritik semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional.
Para birokrat pendidikan, teknisi, dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat, walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak pernah berkaca pada setiap kegagalan yang direproduksi berulang-ulang. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian kecil siswa yang menerima kalungan medali emas olimpiade. Tetapi, mereka tidak peduli terhadap berbagai akibat kesalahan paradigma ini.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kisah Jalaluddin Rumi yang dituturkan Miftah Rahmat dalam pengantar “Road to Allah”. Kisah itu menceritakan perjuangan burung kecil yang berusaha memadamkan api Namrud yang membakar Ibrahim. Dengan paruhnya yang mungil ia terbang ke samudera, mengambil air, menyimpannya dan berusaha menjatuhkannya dari tempat yang sangat tinggi, berharap bisa memadamkan api Namrud. Seluruh binatang dan tumbuhan menertawakannya. “Bagaimana mungkin paruh yang kecil itu dapat mngeambil air untuk dapat memadamkan api Namrud?” mendengar ini burung kecil itu menjawab, “aku tahu aku tidak akan pernah bisa memadamkan api namrud, tapi aku ingin Allah Ta’ala mencatat aku sebagai makhluk yang pernah berusaha untuk memadamkannya”. Selama mata, telinga dan hati penguasa masih tertutup untuk menerima kebenaran ini, maka suara ini tidak boleh berhenti dikumandangkan.