Rabu, 26 November 2008

Pergulatan Menemukan Makna Ramadhan

Oleh: Hadisaputra

Pencarian manusia akan makna merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini dan bukan suatu “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instingtif. Makna itu unik dan spesifik sehingga ia harus dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendir; hanya dengan demikian ia mencapai signifikansi yang akan memuaskan kehendaknya sendiri terhadap makna.

(Victor Frankl, Man’s Search for Meaning)



Tiga Hari lagi Puasa…

Tak terasa Ramadhan 1429 H akan segera menyapa. Mungkin karena pusaran arus modernitas meniscayakan percepatan waktu dalam pelbagai dimensi hidup, sehingga aku pun terperosok dalam pusaran arus yang sama. Pusaran yang membuatku menjadi tuna kuasa atas waktu. Apakah selama ini kita hidup bagaikan robopath? Makhluk yang tuna independensi dan tuna kesadaran dalam menjalani hidup.

Hmm...bergumul menemukan makna... Sekiranya aku masih ingin disebut manusia seharusnya aku tetap memegang kendali atas hidupku. Termasuk memberi makna baru terhadap Ramadhan yang ’kan menyambangiku.

Ramadhan tentu saja memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Bagi para ustadz, Ramadhan adalah rangkaian episode ”30 hari mencari amplop”. Bagi pedagang makanan, Ramadhan adalah musim panen berlimpah. Bisa dibayangkan alangkah hambarnya Buka Puasa tanpa Pisang Ijo, Es cendol, Pallu Butung, Es Buah, dll. Bagi pedagang pakaian musiman, inilah saatnya banting setir untuk menjual pakaian-pakain muslim/ah dan segala macam pernak-pernik Islami. Bagi para politisi, Ramadhan adalah rangkaian episode ”30 hari menebar citra” sebagai politisi yang dekat dengan masjid dan ummat. Malah terkadang di bumbui dengan politisi yang pro ”Syariat Islam”, meski terkadang mereka sendiri tak paham apa yang mereka bicarakan. Apalagi Ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir sebelum Pemilu 2009. Tentu saja alangkah sayang apabila dilewatkan.

Saya mulai berkenalan dengan Ramadhan sejak kecil. Kemudian mulai menahan lapar dan haus sejak kelas I SD. Itupun karena iming-iming hadiah dan pujian orang-oarng di sekitarku. Bagku Ramadhan adalah momentum pembuktian diri di hadapan orang lain bahwa saya juga bisa puasa lho. Pernah suatu waktu kubertanya pada Guru agamaku di sekolah, ”Kenapa Tuhan melarang kita makan dan minum di Bulan Ramadhan?” Dengan santainya Guru Agamaku menjawab, supaya kita bisa merasakan pendertiaan yang dirasakan oleh fakir miskin yang mungkin saja tak makan karena tak punya makanan. Dengan begitu, kita tidak akan pernah memiliki sifat kikir untuk berbagi dengan mereka. Karena kita telah merasakan betapa beratnya menahan lapar itu.

Aku makin bingung, kalau puasa itu bertujuan agar kita punya pengalaman menjadi orang miskin yang tak punya makanan, kenapa ketika Adzan Magrib berkumandang Ibuku justru menyiapkan makanan dan minuman yang enak-enak. Malahan lebih enak dibanding sebelum Bulan Puasa tiba. Kalau orang miskin itu tak punya makanan, kenapa kita tidak disuruh saja langsung berbagai makanan dengan mereka?

”Lalu bagaimana dengan orang-orang miskin itu ustadz? Apakah mereka juga harus berpuasa? Bukankah mereka ini sudah sering menahan lapar? Apakah puasa juga berlaku untruk mereka?” tanyaku untuk memenuhi dahaga rasa ingin tahuku. Ustadznya agak sedikit mengehela napas, mungkin saja pertanyaan ini cukup merepotkannya. Beliau kemudian menjawab, Puasa itu diperuntukkan bagi segenap orang-orang yang merasa beriman dari setiap lapisan sosial. Bagi orang miskin, puasa adalah proses merubah cara pandang mereka terhadap lapar. Kalau selama ini mereka menganggap lapar sebagai buah dari ketidakberuntungan nasib, maka kini mereka dapat meningkatkan derajat lapar mereka menjadi lapar yang berdimensi transendensi. Lapar justru merupakan instrumen untuk melepaskan diri dari ketergantungan dominasi raga atas jiwa. Sehingga kita bisa lebih merasakan nikmatnya bercinta dengan Tuhan.

”Tidak adil dong, ustadz!” gumamku dalam hati. Meskipun waktu itu aku belum memiliki alasan yang mentereng untuk mengungkapkan ketidakadilan tersebut. Menurutku, seharusnya ustadzku tadi menambahkan, setelah bercinta dengan Tuhan, maka orang miskin tersebut akan memiliki energi ekstra untuk menuntut hak-hak mereka yang dititipkan kepada orang kaya. Mereka akan menyuarakan dengan lantang perlawanan terhadap ketidakadilan, karena distribusi kekayaan yang adil merupakan refleksi nilai Tauhid di muka bumi. Mereka menuntut bukan demi pemuasan kebutuhan ragawi belaka, namun mereka bersuara karena dengan tidak memberi makan kepada mereka (orang miskin) sama artinya mereka menghina Sang Kekasih yang sekadar menitipkan harta-Nya kepada para orang kaya tersebut. Perlawanan ini adalah pergolakan spiritual.

Di tengah himpitan arus kapitalisasi agama, sudah saatnya Ramadhan menjadi momentum untuk melecut kesadaran perlawanan. Menyambut Ramadhan ada pesan perlawanan yang mudah-mudahan bisa menjadi pelecut kesadaran kita bersama: “barang siapa yang pengeluaran konsumsi pribadinya semakin besar di Bulan Ramadhan berarti ia telah melakukan KORUPSI SPIRITUALITAS. Bukankah Ramadhan adalah ruang penempaan untuk mengekang hawa nafsu? Kenapa nafsu konsumtif tidak mereka kendalikan? Manakala selama Ramadhan justru kita semakin mempertontonkan ”kelebihan” bukannya membagikan kepada yang berhak dan tidak memposisikan ritual Ramadhan sebagai ruang pembentukan karakter zuhud, berati kita telah terjerembab ke dalam KORUPSI SPIRITUALITAS.

Ramadhan seharusnya merupakan wahana untuk meningkatkan maqam spiritualitas. Ramadhan seyogyanya merupakan ruang penjernihan God Spot. Ramadhan adalah proses pearkhidmatan kepada sesama. Ramadhan adalah rem atas nafsu konsumsi. Ramadhan adalah ruang refleksi setelah berkubang dalam aktivisme selama 11 bulan. Ramadhan adalah waktu untuk melakukan perencanaan strategis kehambaan dan kekhalifahan.

Wallahu A’lam

Ta’mirul Masajid, 29 Agustus 2008

Tidak ada komentar: