Genap seabad usia Persyarikatan Muhammadiyah. 5 Dzulhiijah 1330, sang sosok “manusia besar” (Great Individual), Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi islam modern terbesar di dunia saat ini. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught).
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam seabad usianya telah banyak mendirikan taman kanak-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global.
Seabad, umur yang cukup uzur bagi sebuah organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah. Jika kita melakukan personifikasi, maka Muhammadiyah sesungguhnya telah mendapat diskon lebih 37 tahun dari umur Nabi Muhammad SAW. Adakah umur yang renta tersebut membuat Muhammadiyah seperti gajah bengkak, gerakan yang sangat besar, namun memiliki penyakit kronis. Penyakit yang sebentar lagi akan membuatnya meregang nyawa. Apakah itu berarti kita harus segera memahatkan batu nisan untuk menyambut kematiannya?
Tentu saja sebagai kader Muhammadiyah, penulis masih memiliki optimisme bahwa Muhammadiyah masih bisa menyongsong abad kedua dengan penuh antusiasme dan progresifitas. Oleh karena itu potongan gagasan berikut semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kesembuhan Muhammadiyah.
Penulis ingin menuliskan mozaik gagasan ini dalam kerangka “TBC”. Sebuah jargon dakwah yang cukup populis di Muhammadiyah. TBC ini bukan Tuberculosis/Tuberkulosa alias penyakit paru-paru yang disebabkan oleh bakteri. TBC yang Muhammadiyah maksudkan adalah Takhayul, Bid'ah dan Churafat.
Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada asal usulnya. Misalnya saja, membuat bangunan/jembatan, jika tidak ditanam kepala kerbau maka bangunan tersebut bisa runtuh. Bid'ah adalah praktek keagamaan yang diada-adakan yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Contohnya banyak sekali, diantaranya adalah; Tahlilan atau selamatan kematian, prakteknya meniru kebiasaan orang Hindu. Churafat/Khurafat adalah cerita mengenai sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya namun melegenda. Misalnya saja; kepercayaan kepada cincin yang telah di “baca-bacai” sehingga cincin itu menjadi sumber berkah.
Dalam konteks tulisan ini, penulis ingin memberikan “makna lain” tentang TBC. Bukan dalam terma ilmu kesehatan ataupun terma yang telah populis di Muhammadiyah. TBC yang saya maksudkan tetap merupakan kepanjangan dari Takhayul, Bid’ah dan Churafat. Takhayul dimaknai sebagai kemampuan melampaui kelaziman. Atau sebutlah takhayul itu berarti imajinatif. Sesuatu yang menggugah dan mencerahkan. Sedangkan bid’ah dimaknai sebagai kreatifitas. Khurafat, diterjemahkan kedalam pemaknaan: kemampuan memberi makna terhadap realitas.
Takhayul
Muhammadiyah sebagai “gerakan takhayul” (baca: imajinatif) berarti gerakan ini memiliki gagasan-gagasan yang imajinatif untuk dalam ranah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Setidaknya ada beberapa gagasan yang harus dituntaskan oleh Muhammadiyah jika ingin disebut sebagai gerakan penyuluh zaman.
Pertama, terma “Ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” yang sering menjadi jurus andalan Muhammadiyah perlu diberikan tafsiran penjelas. Masalahnya hampir semua gerakan Islam juga mengklaim Quran dan Hadits sebagai rujukan. Meskipun penafsirannya akan beragam.
Muhammadiyah tidak akan memiliki pembeda kalau juga terjebak kedalam jurus-jurus apologetif semacam ini. Meminjam istilah Kang Jalal, jangan-jangan Muhammadiyah terjebak kedalam fallacies of misplaced concreteness (menjelaskan sesuatu yang abstrak dengan penjelasan abstrak). Solusinya adalah Muhammadiyah perlu membuat risalah Islam komprehensif dalam pahaman Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak lagi cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas persoalan dunia. Spirit “ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” perlu dimaknai sebagai sebuah komitmen Muhammadiyah untuk menggali nilai-nilai (menafsir) Quran dan Hadits untuk menjawab problem kemanusiaan dan peradaban. Dalam menyelami persoalan masyarakat, tentu saja Muhammadiyah mau tak mau harus merujuk pada “koran wa hard disk” (Baca: Media Massa dan internet).
Kedua, bagaimana gagasan Muhammadiyah tentang Indonesia. Spanduk besar yang terpampang di depan Pusat Dakwah Muhammadiyah Tamalanrea bertuliskan “Ketika orang baru belajar tentang Indonesia, jutaan orang telah mengenal Muhammadiyah”, menjadi bukti bahwa Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang turut mendeklarasikan lahirnya Republik Indonesia. Alangkah naifnya, jika masih ada orang Muhammadiyah yang memperhadap-hadapkan antara keislaman dan keindonesiaannya. Menjadi orang Muhammadiyah berarti menghirup keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas. Indonesia adalah produk objektifikasi Islam terbesar di abad ke-20.
Menarik konsep “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” yang digagas oleh Muhammadiyah. Namun konsep tersebut tidak boleh berhenti sekadar sebuah teks beku yang tidak berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Gagasan tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut sampai tingkat metodologi praksis. Hadirnya gagasan tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Siapa saja yang bercita-cita merongrong Indonesia, berarti harus berhadapan dengan Muhammadiyah.
Ketiga, gagasan tentang Globalisasi. Dalam “pernyataan pikiran jelang 1 abad”, Muhammadiyah memandang bahwa globalisasi telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Sayangnya konsep tersebut masih belum bisa memberi jawaban bagaimana peran yang harusnya dimainkan Muhammadiyah dalam merespon fenomena tersebut.
Bidah
Kalau takhayul bergerak pada imajinasi gagasan, maka “Bid’ah” bergerak dalam ranah kreatifitas manajemen gerakan. Dalam Talk-Show di TVOne, Rachlan aktivis IMPARSIAL, mengkritik Amien Rais dan Din Syamsuddin. Mereka dianggap pendatang baru dalam dunia pemberantasan korupsi. Memang waktu itu Din berhasil menjelaskan kiprahnya bersama Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi.
Namun ada satu hal yang terbetik dalam benak saya. Apakah Muhammadiyah hanya terlibat dalam seruan-seruan moral semata dalam pemberantasan korupsi? Tidak adakah Majelis atau lembaga yang bisa ditugasi khusus untuk melakukan kerja-kerja advokasi kasus korupsi? Kenapa Muhammadiyah tidak bisa bergerak seprogresif ICW dalam isu korupsi, WALHI dalam isu lingkungan atau LBH dalam ranah hukum?
Muhammadiyah belum terlambat untuk memanfaatkan jaringan dan organ-organnya untuk mengadopsi model organisasi New Social Movement. Memang sudah ada lembaga-lembaga berbasis isu, namun lembaga itu seolah bukan jiwa dan ruh persyarikatan Muhammadiyah. Pada domain inilah integrasi antara Matan Keyakinan Muhammadiyah dengan isu-isu aktual layak diberi perhatian serius oleh para pimpinan gerakan.
Disamping model new social movement tersebut, model virtual movement juga layak dipertimbangkan sebagai wujud artikulasi gerakan. Keberhasilan gerakan facebooker dalam menggalang lebih dari sejuta dukungan untuk menolak kriminalisasi KPK, ataupun inisiasi para blogger dalam gerakan “koin untuk Prita” membuat virtual movement ini juga harus dijadikan kiblat model gerakan sosial.
Ranah New parliamentary Movement (Gerakan Parlementer Baru) juga belum digarap Muhammadiyah secara serius. Tatkala bicara tentang Politik, Muhammadiyah sekadar bicara pada isu-isu moral politik, tapi masih gagal menjadi inspirator visi bagi para politisi. Tersebarnya kader-kader Muhammadiayh sebagai politisi di berbagai partai politik masih sekadar dilihat sebagai lumbung dana. Belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengagregasikan visi kebangsaan Muhammadiyah dalam ranah kebijakan publik.
Ada model gerakan klasik yang semakin ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah, yakni entrepreneurship movement (Gerakan Kewirausahaan). Kyai Dahlan dulu mendakwahkan Islam sambil menjajakan batik, kini kader Muhammadiyah mendakwahkan Islam sambil menjajakan “Proposal Kegiatan”. Belum lagi letak strategis model gerakan ini jika dikaitkan dengan analisis “The Ruling Elite” Anies Baswedan, bahwa dua-tiga dekade kedepan the ruling elite bangsa ini akan berasal dari kaum entrepreneur. Maukah Muhammadiyah menjadi penonton di pinggiran jalan raya sejarah? Menonton bangsa yang dibidaninya dibesarkan tanpa menghiraukan nilai-nilai dan visi yang dianutnya.
Churafat
Muhammadiyah sebagai Churafat dimaknai sebagai kemampuan persyarikatan untuk memberi makna (berkah/maslahat) terhadap orang banyak. Gerakan Islam ini harus menjawab apa makna bermuhammadiyah bagi kader dan anggota Muhammdiyah. Ustadz Alwi Uddin, sekretaris Muhammadiyah Sulsel pernah berkelakar dalam sebuah diskusi, “bermuhammadiyah berarti mempunyai peluang untuk menjadi pengelola di amal usaha Muhammadiyah atau dosen yayasan di perguruan tinggi Muhammadiyah.” Tentu saja jawaban diatas sekadar jawaban ironi untuk mencari jawaban-jawaban yang lebih intrinsik.
Disamping itu, Muhammadiyah harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar makna kehidupan dari berbagai lapisan masyarakat. Apakah ritual-ritual milad, pengajian, khotbah-khotbah dai Muhammadiyah bisakah mencerahkan nalar sekaligus menentramkan batin? Bisakah Muhammadiyah menggantikan peran Inul Daratista sebagai pelipur lara beban hidup kaum papa? Bisakah Muhammadiyah menjadi pembakar semangat juang dan pengusir kegundahan anak muda fari kegelisahan akan identitasnya? Mampukah pengajian-pengajian Muhammadiyah/Aisyiyah memberikan kesejukan bagi kaum ibu yang semakin sering cemberut dengan harga kebutuhan rumah tangga yang semakin melambung?
Akhirnya, Selamat Ulang Tahun Seabad Muhammadiyah. Ingin kututup tulisan ini dengan mengutip torehan pesan yang terpajang di dinding Pusdiklat Angkatan Muda Muhammadiyah (Lompobattang 201): “Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan Muhammadiyah? Yakni orang-orang yang menghardik angkatan muda muhammadiyah, menggerogoti amal usaha muhammadiyah serta tidak peduli dengan prahara kemanusiaan, kebangsaan dan keummatan”. Wallahu A’lam
Mengenai Saya
Kamis, 24 Desember 2009
Ucapan Selamat Natal Dalam Al-Quran
Hampir setiap Desember, puluhan spanduk ucapan Selamat Hari Natal terpampang di jalan-jalan protokol, gedung-gedung perkantoran maupun pusat-pusat perbelanjaan. Tampaknya negeri yang sebagian besar penduduknya beragama Islam ini, ikut merasakan kebahagiaan dengan peringatan kelahiran (Natal) Isa Al-Masih (Jesus). Semoga saja spanduk tersebut berbanding lurus dengan penghayatan pesan-pesan kasih dan damai yang dibawa oleh Putera Maryam tersebut.
Sayangnya masih terdengar sayup-sayup gugatan terhadap ucapan selamat tersebut dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Seolah dengan mengucapkan ucapan tersebut sebagai orang Islam kita terancam kafir bahkan musyrik. Ada pula seorang sahabat yang mengatakan bahwa ucapan di ruang-ruang public tersebut tak lebih sekadar tuntutan sosial, tak berkorelasi dengan pandangan keagamaan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam?
Natal dalam Al-Qur’an
Dalam pemahaman Islam saya yang awam, saya heran kalau masih ada orang Islam yang mengharamkan ucapan selamat Natal. Kalau alasan yang digunakan adalah kerusakan aqidah, lalu bagaimana dengan rukun Iman yang keempat; Iman Kepada Rasul-rasul Allah? Bukankah salah satu dari Rasul tersebut adalah Isa Al-Masih?
Saya juga ingin mengutip ayat yang dirujuk Zuhairi Misrawi, alumni Universitas al-Azhar Kairo, Mesir dalam Kitab “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme”. Cendekiawan Muda NU tersebut ini merujuk pada Q.S. Maryam 33-34: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku hidup dibangkitkan kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mana mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.
Dalam kasus mengucapkan Selamat Natal, Alquran lebih unik dan lebih lengkap dalam memberikan ucapan selamat. Jika Natal berarti hanya merayakan kelahiran Nabi Isa, Alquran justru memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali.
Menurut Imam al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, terdapat beberapa makna dalam pesan mengucapkan Selamat Natal tersebut. Pertama, sebagai jawaban atas mereka yang menuduh Bunda Maria melahirkan Isa dari hasil perzinahan. Artinya, Tuhan memberikan salam kepada Nabi Isa karena sesungguhnya ia adalah utusan Tuhan yang dilahirkan dari rahim kesucian bundanya. Masih menurut al-Razi, ucapan selamat itu sebagai doa agar ia diberi rasa aman dan nyaman, baik ketika di dunia, alam barzakh maupun di akhirat.
Alangkah ironisnya jika ada orang Islam yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, padahal Tuhan sendiri mengucapkan Selamat Natal sebagai sebuah penghargaan atas pengabdian Isa al-Masih bagi pelayanan kemanusiaan. Apatah lagi fenomena ucapan Selamat Natal sebenarnya merupakan praktek atau tradisi keagamaan yang sudah berkembang lama sekali, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya seperti Mesir. Misalnya sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Beliau memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana (Satrawi dalam Opini Kompas 19/12/2009).
Dengan memberi bingkai teologis terhadap ucapan Selamat Natal, setidaknya hal tersebut akan memberikan beberapa implikasi: Pertama, secara psikologis akan menghindarkan ummat dari split personality. Saya menyebutnya split karena selama ini ucapan selamat natal sering diucapkan oleh ummat Islam, tapi dalam bingkai profesionalisme, karena kapasitas mereka sebagai birokrat, atau karena kapasitas sebagai pengusaha yang memberikan ucapan selamat terhadap klien/pelanggan. Ucapan selamat Natal sekadar manis di bibir namun tak menghunjam dalam ketulusan hati karena tersangkut dengan pandangan keagamaan yang selama ini mereka dapatkan. Sehingga dengan memberikan pandangan keagamaan yang inklusif, akan menghadirkan ummat yang konsisten antara keyakinan, kata dan laku.
Kedua, secara sosiologis ini legitimasi teologis terhadap ucapan selamat Natal akan membangun harmoni social dan mencegah konflik. Pernah suatu ketika Muadz Bin Jabal hendak diutus ke Yaman, pesan pertama Nabi adalah agar berdakwah dengan senyuman dan membahagiakan orang lain. Dengan demikian, ucapan kebahagiaan merupakan ucapan yang semestinya dijadikan sebagai tali pengikat untuk membangun keharmonisan.
Memberikan legitimasi terhadap ucapan selamat Natal merupakan sebuah langkah preventif terhadap konflik. Bukankah konflik itu lahir karena metode kita dalam merumuskan identitas adalah dengan menegasikan yang lain? Identifikasi "kita" dan "mereka", dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri "kita", disucikan dan makin disucikan, sedangkan kelompok lain, "mereka" dilecehkan, bahkan dapat berkembang kepada pemberian legitimasi penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam "perjuangan suci" melawan kelompok lain, kelompok "mereka" atau sebaliknya.
Pluralisme Agama
Mengucapkan Selamat Natal merupakan jalan menuju impian yang lebih tinggi: pengakuan terhadap pluralisme agama. Dengan mengutip Prof. Diana L. Eck, Direktur the Pluralism Project di Harvard University, pluralisme setidaknya memiliki tiga makna:
Pertama, Pluralisme adalah keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sebenarnya mengajak kita untuk lebih dari sekadar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan bersama. Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Pluralisme adalah sebuah upaya memahami yang lain melalui pemahaman yang onstruktif. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Setiap agama mempunyai komitmen masing-masing. Namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan.
Jadi pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama. Pluralisme adalah paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dan komitmen bersama untuk kemanusiaan. Pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang
dimaksud, berarti hal tersebut telah menyalahi kodrat.
Pengertian pluralisme diatas ditegaskan oleh Al-Quran surat Al-Baqarah 148 dan Al-Maidah 48. Dalam surat Al-Baqarah 148 Allah berfirman; "dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...". Dalam surat Al Maidah 48 "...sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan...". Selain itu terdapat ayat-ayat lain yang dapat ditafsirkan mendukung adanya pengertian Pluralisme dalam Al Quran, yaitu Q.S.11:118, 16:93, 42:8 dan 49:13. Penjelasan terhadap ayat-ayat diatas dapat ditemukan dalam Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah (2000).
Akhirnya Selamat Hari Raya Natal 2009. Semoga kita makin dewasa dalam merangkai perbedaan menuju damai-sejahtera, Amien.***
Sayangnya masih terdengar sayup-sayup gugatan terhadap ucapan selamat tersebut dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Seolah dengan mengucapkan ucapan tersebut sebagai orang Islam kita terancam kafir bahkan musyrik. Ada pula seorang sahabat yang mengatakan bahwa ucapan di ruang-ruang public tersebut tak lebih sekadar tuntutan sosial, tak berkorelasi dengan pandangan keagamaan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam?
Natal dalam Al-Qur’an
Dalam pemahaman Islam saya yang awam, saya heran kalau masih ada orang Islam yang mengharamkan ucapan selamat Natal. Kalau alasan yang digunakan adalah kerusakan aqidah, lalu bagaimana dengan rukun Iman yang keempat; Iman Kepada Rasul-rasul Allah? Bukankah salah satu dari Rasul tersebut adalah Isa Al-Masih?
Saya juga ingin mengutip ayat yang dirujuk Zuhairi Misrawi, alumni Universitas al-Azhar Kairo, Mesir dalam Kitab “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme”. Cendekiawan Muda NU tersebut ini merujuk pada Q.S. Maryam 33-34: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku hidup dibangkitkan kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mana mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.
Dalam kasus mengucapkan Selamat Natal, Alquran lebih unik dan lebih lengkap dalam memberikan ucapan selamat. Jika Natal berarti hanya merayakan kelahiran Nabi Isa, Alquran justru memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali.
Menurut Imam al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, terdapat beberapa makna dalam pesan mengucapkan Selamat Natal tersebut. Pertama, sebagai jawaban atas mereka yang menuduh Bunda Maria melahirkan Isa dari hasil perzinahan. Artinya, Tuhan memberikan salam kepada Nabi Isa karena sesungguhnya ia adalah utusan Tuhan yang dilahirkan dari rahim kesucian bundanya. Masih menurut al-Razi, ucapan selamat itu sebagai doa agar ia diberi rasa aman dan nyaman, baik ketika di dunia, alam barzakh maupun di akhirat.
Alangkah ironisnya jika ada orang Islam yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, padahal Tuhan sendiri mengucapkan Selamat Natal sebagai sebuah penghargaan atas pengabdian Isa al-Masih bagi pelayanan kemanusiaan. Apatah lagi fenomena ucapan Selamat Natal sebenarnya merupakan praktek atau tradisi keagamaan yang sudah berkembang lama sekali, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya seperti Mesir. Misalnya sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Beliau memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana (Satrawi dalam Opini Kompas 19/12/2009).
Dengan memberi bingkai teologis terhadap ucapan Selamat Natal, setidaknya hal tersebut akan memberikan beberapa implikasi: Pertama, secara psikologis akan menghindarkan ummat dari split personality. Saya menyebutnya split karena selama ini ucapan selamat natal sering diucapkan oleh ummat Islam, tapi dalam bingkai profesionalisme, karena kapasitas mereka sebagai birokrat, atau karena kapasitas sebagai pengusaha yang memberikan ucapan selamat terhadap klien/pelanggan. Ucapan selamat Natal sekadar manis di bibir namun tak menghunjam dalam ketulusan hati karena tersangkut dengan pandangan keagamaan yang selama ini mereka dapatkan. Sehingga dengan memberikan pandangan keagamaan yang inklusif, akan menghadirkan ummat yang konsisten antara keyakinan, kata dan laku.
Kedua, secara sosiologis ini legitimasi teologis terhadap ucapan selamat Natal akan membangun harmoni social dan mencegah konflik. Pernah suatu ketika Muadz Bin Jabal hendak diutus ke Yaman, pesan pertama Nabi adalah agar berdakwah dengan senyuman dan membahagiakan orang lain. Dengan demikian, ucapan kebahagiaan merupakan ucapan yang semestinya dijadikan sebagai tali pengikat untuk membangun keharmonisan.
Memberikan legitimasi terhadap ucapan selamat Natal merupakan sebuah langkah preventif terhadap konflik. Bukankah konflik itu lahir karena metode kita dalam merumuskan identitas adalah dengan menegasikan yang lain? Identifikasi "kita" dan "mereka", dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri "kita", disucikan dan makin disucikan, sedangkan kelompok lain, "mereka" dilecehkan, bahkan dapat berkembang kepada pemberian legitimasi penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam "perjuangan suci" melawan kelompok lain, kelompok "mereka" atau sebaliknya.
Pluralisme Agama
Mengucapkan Selamat Natal merupakan jalan menuju impian yang lebih tinggi: pengakuan terhadap pluralisme agama. Dengan mengutip Prof. Diana L. Eck, Direktur the Pluralism Project di Harvard University, pluralisme setidaknya memiliki tiga makna:
Pertama, Pluralisme adalah keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sebenarnya mengajak kita untuk lebih dari sekadar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan bersama. Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Pluralisme adalah sebuah upaya memahami yang lain melalui pemahaman yang onstruktif. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Setiap agama mempunyai komitmen masing-masing. Namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan.
Jadi pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama. Pluralisme adalah paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dan komitmen bersama untuk kemanusiaan. Pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang
dimaksud, berarti hal tersebut telah menyalahi kodrat.
Pengertian pluralisme diatas ditegaskan oleh Al-Quran surat Al-Baqarah 148 dan Al-Maidah 48. Dalam surat Al-Baqarah 148 Allah berfirman; "dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...". Dalam surat Al Maidah 48 "...sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan...". Selain itu terdapat ayat-ayat lain yang dapat ditafsirkan mendukung adanya pengertian Pluralisme dalam Al Quran, yaitu Q.S.11:118, 16:93, 42:8 dan 49:13. Penjelasan terhadap ayat-ayat diatas dapat ditemukan dalam Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah (2000).
Akhirnya Selamat Hari Raya Natal 2009. Semoga kita makin dewasa dalam merangkai perbedaan menuju damai-sejahtera, Amien.***
Langganan:
Postingan (Atom)